Minggu, 04 November 2012

Puisi Impian

IMPIAN HATI


Waktu telah berlalu
Dengan begitu cepat
Tanpa kumerasakan
Dan kusadarinya

Menanti impian hati
Yang terpendam sepanjang masa
Kuingin dan kurindukan
Keluarga yang harmonis
Kurindukan belaian kasih saying ayah
Kuharapkan dorongan parents terhadap prestasiku

Oh ……..Tuhan kapankah impian hati ini
Bisa terwujud dengan success
Cause hati ini
Diliputi dengan harapan dan kesedihan

Untukmu Sahabatku

SAHABAT

Ketika kurasa semua berakhir
Kau datang dengan ketulusan
Menbangun asah yang runtuh
Membuka hati yang tertutup

Terimakasih sahabatku
Atas ketulusan  dan kejujuranmu
Pastikan kujaga  selamanya
Persahabatan diantara  kita

Saat ku terjebak
Diantara garis pesonamu
Hingga dibatas anganku

Sementara hati ini
Dalam gangguan kenangan
Apakah kau disana
Menyimpan asah
Yang sama ?

Sabtu, 03 November 2012

Uji Fitokimia

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan. Di wilayah hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan. Menurut Heyne (1987), 1000 spesies di antaranya dinyatakan sebagai tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Akan tetapi hanya sekitar 350 spesies tumbuhan yang benar-benar telah digunakan sebagai bahan baku obat oleh masyarakat serta industri jamu dan obat Indonesia (Muhlisah, 2000). Hal ini mengisyaratkan masih terbukanya peluang usaha penggalian dan pemanfaatan tumbuhan obat untuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Pohon maja banyak terdapat di Srilanka, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Indonesia, dan negara-negara asia tenggara lainnya (Misra,1999). Penelitian yang berkembang mengenai pohon maja ini, umumnya mengarah pada penggunaan buah maja untuk mengobati berbagai penyakit, di antaranya adalah disentri, diarhea, hepatitis, tuberkulosis dan dispepsia. Bagian pohon lainnya yang juga bermanfaat di antaranya adalah akarnya sebagai antidot terhadap bisa ular, antidiarhoetik dan antiinflamatori (Misra, 1999), kulit batang untuk mengobati penyakit malaria dan sebagai racun ikan, dan bunganya digunakan untuk obat mata yang memiliki efek antiemetik (Morton, 1987). Namun demikian belum banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pemanfaatan daun maja sebagai obat tradisional. Beberapa penelitian yang telah dilakukan umumnya mengarah pada pemanfaatannya sebagai pestisida (Misra,1999). Menurut Heyne (1987) masyarakat Indonesia telah menggunakan daun maja secara turun temurun untuk mengobati penyakit borok, kudis, eksim, dan bisul.
Daun maja yang dihaluskan digunakan sebagai obat luar pada permukaan kulit yang terkena penyakit tersebut. Melihat potensi yang besar dari pohon maja ini, khususnya pada bagian daun untuk mengobati berbagai penyakit yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri, maka pada percobaan ini dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa dari metabolit sekunder yang terdapat pada daun maja.
I.2  Rumusan masalah
Rumusan masalah yang ada pada percobaan ini adalah senyawa fitokimia apa saja yang terkandung dalam Aegle Marmelos (daun maja)  ?
I.3  Tujuan Percobaan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui golongan senyawa (alkaloid, steroid, triterpenoid, saponin, flavanoid, tanin, polifenol) yang terkandung pada bagian-bagian tumbuhan Aegle Marmelos  (daun maja).

I.4  Manfaat Percobaan
Hasil praktikum ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi mengenai senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun maja, yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan pembanding pada praktikum selanjutnya.

1.5 Prinsip Percobaan
Prinsip dari percobaan ini, yaitu didasarkan pada identifikasi warna yang terdapat pada tumbuhan (Aegle marmelos) dengan menggunakan pereaksi Meyer untuk uji alkaloid, pereaksi Liebermenn-Burchard untuk terpenoid, larutan FeCl3 untuk uji senyawa tannin/polifenol dan logam Mg untuk uji senyawa flavanoid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1  Deskripsi Umum Tumbuhan Maja (Aegle marmelos)
Taksonomi dari Aegle marmelos adalah:
Kingdom    : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi        : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas        : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas    : Rosidae
Ordo        : Sapindales
Famili        : Rutaceae (suku jeruk-jerukan)
Genus        : Aegle
Spesies    : Aegle marmelos (L.) Corr
(Anonim, 2011).







Kandungan Daging buah maja halus, kuning atau oranye, harum sekali dan enak rasanya. Bagian yang dapat dimakan (daging buahnya) sebanyak 56-77% dari keseluruhan buah; untuk setiap 100 gram berisi: 61,5 g air, 1,8 g protein, 0,39 g lemak, 31,8 g karbohidrat, 1,7 g abu, 55 mg karotena, 0,13 mg tiamin, 1,19 mg riboflavin, 1,1 mg niasin, dan 8 mg vitamin C. Buah maja mengandung banyak tanin (kulit buahnya mencapai 20% tanin). Marmelosina (C13H12O3), rninyak yang miadah rnenguap, limonena, alkaloid, kumarin dan steroid juga dijumpai pada berbagai bagian dari pohon maja ini. Botani Pohon maja berukuran kecil dan mudah luruh daunnya, tingginya 10-15 m, pangkal barangnya berdiameter 25-50 cm. Cabang-cabang tuanya berduri; durinya tunggal atau berpasangan, panjangnya 1-2 cm. Daunnya berseling, beranak daun tiga-tiga; tangkai daunnya 2-4 cm panjangnya, tangkai daun lateral mencapai 3 mm, tangkai daun terminal sampai 15 mm; anak daun lateral bundar telur (ovate) sampai Prong (elliptic), mencapai 7 cm x 4,2 cm, anak daun terminal bundar telur sungsang (obovate) mencapai ukuran 7,5 cm x 4,8 cm, berbintik bintik kelenjar kecil-kecil tetapi rapat. Perbungaannya berbentuk tandan di ketiak, panjangnya 4-5 cm, bunga-bunganya bergerombol dengan kelopaknya bersegi tiga melebar, panjangnya 1,5 mm; daun mahkotanya lonjong-bundar telur sungsang, 14 mm x 8 mm, kehijau-hijauan sampai putih; benang sarinya 35-45 lembar, putih, tangkai sarinya 4-7 mm panjangnya; bakal buahnya 8 mm x 4 mm, tangkainya sangat pendek. Buahnya berupa buah buni yang agak bulat, diameternya 5-12,5 cm, seringkali bertempurung mengayu yang keras, bersegmen 8-16(-20), berbiji 6-10 butir, berada di dalam daging buah yang jernih, lengket dan dapat dimakan. Bijinya terbungkus oleh bulu-bulu seperti wol, berada di dalam kantung yang berlendir lengket, yang akan mengeras jika dikeringkan, kulit bijinya putih (Hartiana, 2009).
Tanaman mojo (Aegle marmelos L.) sering digunakan sebagai obat tradisional (Hariana, 2007). Buah mojo yang matang dapat dimakan langsung atau dibuat serbat, sirup dan nektar buah. Buah yang matang dapat diiris-iris, dikeringkan dan digunakan sebagai obat disentri kronis, diare, dan sembelit. Kulit buah mentah dapat digunakan sebagai cat kuning dan sebagai agen tanin. Kulit batang ini digunakan untuk meracuni ikan. Akar mojo digunakan sebagai obat penenang debaran jantung, gangguan pencernaan, dan bengkak lambung. Daun, akar, dan kulit batang mojo (Aegle marmelos L.) mengandung saponin, di samping itu akar dan kulit batangnya mengandung flavonoid dan polifenol dan daunnya juga mengandung tanin
 (Nurcahyati, 2008).
II.2  Kandungan metabolit Sekunder
       II.2.1  Alkaloid
Alkaloid merupakan sekelompok metabolit sekunder alami yang mengandung nitrogen yang aktif secara farmakologis yang berasal dari tanaman, mikroba tau hewan. Dalam kebanyakan alkaloid, atom nitrogen merupakan bagian dari cincin. Alkaloid secara biosintesis diturunkan dari asam amino. Namun alkaloid berasaldari kata “alkalin” yang berarti basa yang larut air. sejumlah alkaloid alami dan turunannya telah dikembangkan sebagai obat untuk mengobati berbagai macam penyakit, reserfpin dan taxol. Alkaloid bersifat basa dan membentuk garam yang larut air dengan asam- asam mineral. Pada kenyataannya satu atau lebih atom nitrogen yang ada dalam alkaloid pada umumnya membentuk amina 1º, 2º atau 3º, yang berkontribusi pada kebasaan alkaloid. Tingkat kebasaan alkaloid sangat bervariasi tergantung pada strukrut molekul, dan keberadaan gugus fungsional. Kebanyakan alkaloid adalah padat kristalin dan berasa pahit. alakloid pada umumnya dikelompokkan sesuai dengan asam amino, baik yang menyediakan atom nitrogen maupun kerangka alkaloidnya. Meskipun demikian, alkaloid juga dapat dikelompokkan secara bersama- sama berdasarkan pada kesamaan struktur generiknya. Flafonoid, turunan 1,3- difenilpropan, merupakan sekelompok produk alami yang luas dan tersebar dalam tanaman tingkat tinggi. Kelompok senyawa ini juga ditemukan dalam tanaman tingkat rendah seperti algae. Kebanyakan flavonoid merupakan senyawa berwarna kuning, dan berperan pada warna kuning bunga dan buah, yang mana flavonoid ini berada sebagai glikosida. Kebanyakan flavonoid berada sebagai glikosida, dan dalamsatu kelompok dapat dikarakterisasi sebagai monoglikosida, diglikosida, dan sebagainya. Saat ini lebih dari 2000 glikosoda flavon dan flavonoid telah diisolasi saat ini. Polifenol- polifenol tanaman, juga dikenal sebagai tanin sayuran,merupakan sekelompok senyawa alami yang heterogen yang tersebar secara luas dalam tanaman. Tanin sering terdapat dalam buah yang tidak masak, dan menghilang ketika buah masak. Dipercayai bahwa tanin dapat memberikan perlindingan terhadap serangan mikroba. Tanin mempunyai 2 jenis struktur yang laus yaitu proantosianidin terkondensasi dalam mana satuan struktur fundamental adalah inti fenolik flavan-3-ol (katekin) serta ester galoil dan heksahidroksidi-fenoil dan turunan- turunannya (Satyajit, 2007).
II.2.2  Terpenoid (termasuk triterenoid, steroid, saponin)
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat diiedentifikasi  berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah
Terpenoid mencakup sejumlah senyawa tumbuhan yang secara biosintesis berasal dari senyawa yang sama, yaitu isoprena. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30  asiklik yaitu skualen. Triterpenoid merupakan senyawa berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi, optis aktif dan umumnya sukar dicirikan karena tidak memiliki kereaktifan kimia. (Putra, 2007).
Steroid merupakan golongan lipid utama. Steroid berhubungan dengan terpena dalam artian bahwa keduanya dibiosintesis lewat rute yang mirip. Lewat reaksi yang benar-benar luar biasa urutannya, triterpena asiklik skualena dikonversi secara stereospesifik menjadi steroid tetrasiklik lanosterol, dan dari sini disintetis steroid lain.





Ciri struktur yang umum pada steroid ialah empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggota enam, dan cincin D beranggota lima, biasanya bergabung dengan cara trans (Hart, 2003).







Steroid terdapat dalam hampir setiap tipe sistem kehidupan. Dalam binatang banyak steroid bertindak sebagai hormon. Steroid ini, demikian pula steroid sintetik digunakan meluas sebagai bahan obat. Kolesterol merupakan sterfoid hewani yang terdapat paling meluas dan dijumpai dalamhampir semua jaringan hewan. Batu kandung empedu dan kuning telur merupakan sumber yang kaya akan senyawaini. Kolesterol merupakan zat yang diperlukan dalam biosintesis hormon steroid, namun tak merupkan keharusan dalam makanan dalam makanan, karena dapat disintesis dari asetilkoenzim A (Fessenden, 1982).
        II.2.3  Flavonoid, Tannin dan Polifenol
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena umumnya mereka seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat pada vakuola sel
(Putra, 2007).
Zat atsiri yang memberikan keharuman pada tumbuh- tumbuhan dan bunga adalah golongan senyawa yang disebut terpena. Bau dalamhutan konifer pada hari panas di musim panas sebagian disebabkan oleh terpena yang berasal dari pohon pinus. Memang sebetulnya nama terpena diturunkan dari senyawa yang diturunkan dari terpentin, yaitu cairan atsiri yang didapat dari pohon pinus (Stanley, 1988).
  Pada senyawa polifenol, aktivitas antioksidan berkaitan erat dengan struktur rantai samping dan juga substitusi pada cincin aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas DPPH dapat mempengaruhi urutan kekuatan antioksidannya. Aktivitas peredaman radikal bebas senyawa polifenol diyakini dipengaruhi oleh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam molekulnya. Dengan demikian aktivitas antioksidan yang lebih tinggi akan dihasilkan pada senyawa fenolik yang mempunyai jumlah gugus hidroksil yang lebih banyak pada inti flavonoidnya. Senyawa fenolik ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan hidrogen, maka aktivitas antioksidan senyawa fenolik dapat dihasilkan pada reaksi netralisasi radikal bebas yang mengawali proses oksidasi atau pada penghentian reaksi radikal berantai yang terjadi.
Sifat antioksidan dari flavonoid berasal dari kemampuan untuk mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan juga membentuk kompleks dengan logam. Kedua mekanisme itu membuat flavonoid memiliki beberapa efek, diantaranya menghambat peroksidasi lipid, menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas beberapa enzim.






Gambar. Peredaman radikal bebas oleh flavonoid. (A) struktur flavonoid.(B) proses peredaman radikal bebas oleh Flavonoid (Yuhernita, 2011).
    Secara struktural, flavonoid merupakan turunan 1,3-difenilpropan seperti kaemferol. Salah satu gugus fenil, cincin B, berasal dari jalur asam sikimat, sementara cincin yang lain (cincin A) berasal dari jalur asetat melalui penutupan cincin poleketida. Salah satu gugus pada hidroksil pada cincin A selalu berada pada posisi orto terhadap rantai samping,dan terlibat pada pembentukan cincin beranggota-6 ketiga (hanya ditemukan pada auron). Rantai samping 2-fenil pada kerangka flavonoid mengalami isomerisasi pada posisi 3-, menghasilkan pembentukan isoflavon (Satyajit, 2007).
II. 3  Uji Fitokumia
Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, dalam arti luas adalah segala jenis zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Dalam penggunaan umum, fitokimia memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif bagi pencegahan penyakit. Karenanya, zat-zat ini berbeda dengan apa yang diistilahkan sebagai nutrien dalam pengertian tradisional, yaitu bahwa mereka bukanlah suatu kebutuhan bagi metabolisme normal, dan ketiadaan zat-zat ini tidak akan mengakibatkan penyakit defisiensi, paling tidak, tidak dalam jangka waktu yang normal untuk defisiensi tersebut (Anonim, 2012).
Uji fitokimia dilakukan pada setiap simplisia dan ekstrak. Senyawa alkaloid diuji dengan pereaksi Bouchardat, dibuktikan dengan terbentuknya warna coklat merah. Senyawa flavonoid diuji dengan pereaksi amil alkohol, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah. Senyawa tanin dan polifenol diuji dengan larutan 1 % FeCl3 memberikan warna biru lalu hitam. Senyawa tanin diuji dengan larutan gelatin memberikan endapan putih. Senyawa saponin diuji dengan pengocokan dan ditandai dengan terbentuknya busa yang stabil pada filtrat simplisia. Senyawa triterpenoid dan steroid diuji dengan pereaksi Liebermann-Bouchardat ditandai dengan warna ungu untuk triterpenoid dan warna hijau biru untuk steroid. Senyawa kuinon diuji dengan larutan NaOH dan ditandai dengan terbentuknya warna kuning (Astuti, 2003).
Penapisan fitokimia metabolit sekunder daun maja meliputi analisis golongan-golongan senyawa:
•    Alkaloida: 1,0 mL sampel ditambah dengan 2-3 tetes pereaksi Dragendorf, bila bereaksi positif akan menghasilkan endapan jingga.
•    Steroid: 1,0 mL sampel ditambah dengan 1,0 mL pereaksi Lieberman- Buchard, bila bereaksi positif akan menghasilkan larutan berwarna biru, hijau, merah, atau jingga.
•    Flavonoid: ke dalam 1,0 mL larutan sampel alkoholik ditambahkan sedikit serbuk magnesium dan beberapa tetes HCl pekat (pereaksi Shinoda), bila bereaksi positif, akan menghasilkan larutan berwarna jingga, merah muda atau merah.
•    Saponin: 2,0 mL larutan sampel dikocok beberapa menit, bila bereaksi positif akan terbentuk busa yang stabil selama 15 menit.
•    Polifenol: 1,0 mL larutan sampel ditambah dengan beberapa tetes larutan feri klorida 5%, bila bereaksi positif akan menghasilkan endapan coklat.
•    Glikosida: 2-3 mg sampel ditambahkan ke dalam 2 mL pereaksi Baljet, bila bereaksi positif akan menghasilkan warna jingga sampai merah
(Djalil et al, 2006).

BAB III
METODE PRAKTIKUM
III. 1  Pelaksanaan praktikum
        Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamist 31 Mei 2012 di Laboratorium Pengembangan Unit Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo Kendari.
III.2   Alat dan Bahan
        Alat-Alat yang digunakan dalam percobaan ini  adalah Pemanas, Corong kaca, Tabung reaksi, Pipet volum 10 mL, Filler, Corong pisah, Botol semprot, Pipet tetes, Botol timbang, Batang pengaduk, Mortal, lumping, Gelas kimia 500 mL, Timbangan dan Gegep.
Bahan : Aquades, n-heksana, Air, etil asetat, Metanol, etanol, Asam sulfat,  asam klorida, Asam asetat,  kloroform, Eter,  amoniak 10%, Pereaksi uji fitokimia ( HgCl2, KI, Bi(NO3)3, HNO3, logam magnesium, larutan FeCl3, glatin 10%) dan Sampel tumbuhan yaitu daun maja (Aegle marmelos).

III.3   Prosedur Kerja
    Uji Alkaloid

                                                       
    Uji Steroid, Triterpenoid, dan Saponin




    Uji Flavonoid

    Uji Tannin dan Polifenol


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil pengamatan
Metabolit    Pengamatan    Kesimpulan
    +++    ++    +    -   
Alkaloid
- Meyer
-Dragendorf               

√    Diduga tidak mengandung alkaloid
Steroid
-Pereaksi Libermann- Burchard   
√                Diduga mengandung steroid
Triterpenoid
Pereaksi Libermann- Burchard   
√   
       
    Diduga mengandung Triterpenoid
Saponin
-Air
- Pereaksi Libermann- Burchard   

√   
√       

    Diduga mengandung saponin
Flavonoid                √    Diduga tidak mengandung Flavonoid
Tanin dan polifenol
-    Sampel + FeCl3    √                Diduga mengandung tanin/polifenol




IV.2  Pembahasan
Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan golongan senyawa aktif dari ekstrak tumbuhan. Uji fitokimia yang sering dilakukan yaitu uji polifenol, kuinon, alkaloid, triterpenoid, steroid, saponim dan flavonoid. Menurut harbone (1987) fitokimia adalah suatu teknik analisa kandungan kimia didalam tumbuhan. Analisis ini bersifat kualitatif sehingga data yang dihasilkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu dengan metode fitokimia dapat diketahui secara kualitatif kandungan kimia dalam suatu jenis tumbuhan. Secara umum kandungan kimia tumbuhan dapat dikelompokkan kedalam golongan senyawa alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, flavonoid, tannin, polifenol, dan kuinon. Senyawa-senyawa tersebar luas didalam tumbuhan. Untuk menentukan senyawa-senyawa tersebut maka digunakan pereaksi-pereaksi khusus dan spesifik, misalnya pereaksi Dregendrorf, Meyer, Wagner, asam pikrat dan pereaksi asam tannat untuk alkaloid. Pereaksi liebermen – burchard untuk terpenoid, FeCl3 untuk mengidentifikasi polifenol dan larutan gelatin untuk senyawa tannin.
Pada percobaan ini, dilakukan uji fitokimia pada daun maja (Aegle marmelos). Dalam uji fitokimia pada daun maja menggunakan uji alkoloid, uji steroid, Triterpenoid, Saponin, uji Flavonoid, uji Tannin dan Polifenol. Uji alkaloid adalah senyawa yang mempunyai struktur heterosiklik yang mengandung atom N didalam intinya dan bersifat basa, karena itu dapat larut dalam asam-asam serta membentuk garamnya, dan umumnya mempunyai aktifitas fisiologis baik terhadap manusia ataupun hewan. Pada uji alkaloid,  3 gram daun maja yang telah dihaluskan digerus dengan kloroform dan kemudian diekstrak dengan kloroform amoniakal. Tujuan dari pengekstrakan daun maja yang halus, agar memudahkan untuk melakukan identifikasi uji alkaloid pada daun maja dengan ukuran partikel yang sangat kecil akan menyebabkan kandungan kimia dari bahan atau sampel tersebut dapat tersaring dengan baik. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk mempercepat terjadinya ekstraksi oleh pelarut tertentu karena semakin besarnya luas permukaan sampel. Sedangkan ekstraksi dengan kloroform ammonikal untuk memutuskan ikatan antara asam tannin dan alkaloid yang terikat secara ionik dimana atom N dari alkaloid berikatan saling stabil dengan gugus hidroksifenolik dari asam tannin tersebut. Dengan terputusnya ikatan tersebut alkaloid akan bebas sedangkan asam tannin akan terikat pada kloroform ammonikal. Ekstrak daun maja yang mengandung garam organik dari alkaloid akan bereaksi dengan NH4+  dengan menarik H+ dari gugus organik membentuk alkaloid bebas dalam kloroform sedangkan ammoniak terpisah sebagai senyawa RNH4 dan H2O dalam fasa yang lain. Kemudian disaring. Setelah penyaringan dilakukan, kita mendapatkan residu dan filtrat yang berwarna hijau tua. filtrat yang diperoleh ditambahkan 10 mL H2SO4 2N, dikocok kuat dan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas merupakan larutan asam sulfat dan lapisan bawah adalah kloroform berwarna hijau. Terbentuknya dua lapisan karena kloroform memiliki massa jenis yang lebih besar dari asam sulfat. Penambahan asam sulfat pada filtrat dimaksudkan untuk memprotonasi senyawa yang diidentifikasi dengan pereaksi meyer dan pereaksi Dragendorf. Hal ini diebabkan karena terjadi pengikatan kembali alkaloid menjadi garam alkaloid yang dapat bereaksi dengan pereaksi logam-logam berat yang spesifik sehingga alkaloid menghasilkan kompleks garam anorganik yang tidak larut dan terpisah dengan metabolit sekundernya. Lapisan asam sulfat diambil dan dibagi menjadi dua tabung. Tabung pertama ditambahkan pereaksi meyer dan tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendorf. Penambahan pereaksi meyer dan pereaksi Dragendorf tidak didapatkan adanya endapan putih dan endapan coklat kemerahan. Hal ini menunjukkan bahwa pada daun maja tidak mengandung senyawa alkaloid.
Steroid merupakan triterpenoida yang kerangka dasarnya adalah cincin siklopentana perhidrofenantren. Sifat fisik dari steroid yaitu berbentuk padat, tidak berbau, dan sedikit berupa cairan sedangkan sifat kimianya bersifat basa dan non polar atau semi polar. Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena, senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis dalam merah. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas menyerupai sabun (bahasa latin, sapo : sabun). Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan dan beberapa saponin bekerja sebagai anti mikroba.
Gambar struktur dasar steroida









Uji steroid, triterpenoid dan saponin dilakukan dengan menimbang daun maja 10 gram yang telah dihaluskan dan diekstraksi dengan etanol panas. Proses pengerusan dilakukan untuk menghancurkan didnding sel yang sifatnya kaku sehingga senyawa target (metabolit sekunder) yang berada dalam vakuola mudah diambil sedangkan fungsi penambahan etanol adalah untuk melarutkan ketiga senyawa tersebut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Filtrat yang diperoleh diuapkan dan diekstrak lagi dengan eter, untuk memisahkan komponen non polar yaitu steroid dan triterpenoid sedangkan saponin tetap di etanol. Ekstrak eter diuji dengan pereaksi Liebermann-Buchard dan menunjukkan adanya steroid dan triterpenoid yang ditandai dengan warna biru/hijau dan warna ungu/merah pada ekstrak daun maja. Sedangkan residu tidak larut dalam eter ditambahkan air dan dikocok kuat-kuat. Pada residu tersebut terdapat busa yang menandakan  ada saponin pada residu. Busa yang timbul disebabkan saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Selanjutnya residu dihidrolisis dengan HCl 2N sebanyak 4 mL dan disaring. Hidrolisis dengan HCl dimaksudkan untuk memutuskan gugus gula pada sampel. Selanjutnya endapan diuji dengan pereaksi Liebermann-Buchard menunjukkan adanya saponin dengan warna hijau/biru.
Percobaaan selanjutnya adalah uji flavonoid. Flavonoid adalah senyawa yang mengandung karbon C15 atas dua inti fenolat yang dihubungkan tiga satuan karbon cincin A yang memiliki karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinal dan cincin B biasanya 4,3,4 atau 3,4,5 terhidroksilasi (Sastrohamidjojo, 1995). Sampel Aegle marmelos sebanyak 10 gram yang telah dihaluskan diekstraksi dengan methanol. Hal ini bertujuan  untuk dapat melarutkan senyawa ini, dan selanjutnya di saring untuk memisahkan filtrat dan residu. Filtrat diuapkan dan diekstraksi dengan n-heksan. Setelah itu ekstrak daun maja dalam n-heksana diekstraksi kembali dengan etanol untuk melarutkan flavanoid dan ditambahkan dengan 0,5 g Mg. Penambahan logam Mg dan HCl untuk mendeteksi adanya senyawa flavanoid dimana flavanoid akan bereaksi dengan Mg setelah penambahan asam klorida pekat dengan terjadinya perubahan warna merah muda/ungu sebab flavanoid mengalami perubahan serapan cahaya ke arah panjang gelombang yang lebih besar akibat adanya reaksi reduksi oleh HCl. Namun setelah penambahan HCl tidak terjadi perubahan warna pada sampel. Hal ini menunjukkan bahwa pada daun maja (Aegle marmelos) tidak terkandung senyawa flavonoid.
Pada uji tanin dan polifenol, sampel digerus dengan air. Penggerusan ini dilakukan dengan air karena tanin dan polifenol mengandung satu atau dua senyawa hidroksil sehingga mudah larut dalam air dan  kemudian didihkan. Proses pemanasan ini bertujuan agar tanin dan polifenol tersebut itu dapat larut kemudian disaring dan dibagi menjadi 2 bagian. Tabung pertama diteteskan dengan FeCl3 dan diperoleh bahwa pada daun maja  terdapat tanin/polifenol karena menimbulkan warna biru hingga hitam yang menandakan bahwa sampel tersebut memiliki tanin/polifenol.



BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini, dapat disimpulkan bahwa uji fitokimia pada daun maja (Aegle marmelos) mengandung senyawa steroid, triterpenoid, saponin dan tannin. Dan tidak mengandung senyawa alkaloid dan flavonoid. Hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya perubahan yang menunjukkan adanya senyawa- senyawa tersebut setelah penambahan pereaksi spesifik.
V.2 Saran
Sebaiknya dalam praktikum pada bagian uji alkaloid, sebaiknya ektraksi dengan penambahan asam sulfat dilakukan dua kali karena tidak menutup kemungkinan kandungan alkaloid masih tertinggal pada lapisan kloroform amoniakal.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011.Informasi Spesies Maja  (Aegle marmelos L, Corr). http://berkebundirumah.blogspot.com/2011/01/informasi-spesies.html. [5 Juni 2012].

Astuti, Ika Yuni. 2003. Efek Antidepresi dan Penapisan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Pakan Primata. Pharmacy. 01. 07-11.

Djalil et al. 2006. Penapisan Fitokimia dan Uji Aktifitas Antibakteri Ekstrak Air dan Etanol Daun Maja (Aegle marmelos Correa).Pharmacy. 04. ISSN 1693-3591.

Fessenden. 1982. Kimia Organik Edisi Ke 3 Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Hartaiana. 2009. Manfaat Tumbuhan. http://buahlangkapkp06.blogspot.com/2009/01/ria-hartiana-pkp-nama-daerah-ceremoi.html. [ 5 Juni 2012].

Hart, Harold. 2003. Kimia Organik Suatu kuliah Singkat. Erlangga. Jakarta.
Nurcahyati, Sri. 2008. Efektifitas Ekstrak daun Mojo (Aegle marmelos L.)Terhadap Kematian larva Nyamuk Aedes aegypti Instar III. Skripsi. Univesitas Muhammadiyah Surakarta.

Purba, Ritson. 2007. Analisis Fitokimia dan Uji Bioaktivitas Daun kaca (Peperomia Pellucida (L) Krunth). Jurnal Kimia Wulawarman. 5. ISSN 1693-5616.

Satyajit. 2007. Kimia untuk Farmasi. Bahan Kimia Organik, Alam dan Umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Stanley. 1988. Kimia Organik Terbitan Keempat. ITB. Bandung.
Yuhernita, Juniarti. 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol Daun Surian Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Makala Sains. 15. 48-52.


Tugas Setelah Praktikum
1.    Tuliskan reaksi umum yang terjadi pada:
a.    Uji alkaloid
b.    Uji steroid
c.    Uji flavanoid
d.    Uji tannin dan polifenol
2.    Pada uji alkaloid, kesimpulan yang akan saudara berikan (+) alkaloid atau (-) alkaloid. Jika uji dengan pereaksi meyer (+) sementara uji dengan drgendorf  (-)? Jelaskan!
Jawab   
1.    a. Reaksi umum pada uji alkaloid
K2HgI4            2K+   +  HgI42-    ( pereaksi meyer )


      + HgI42-                            HgI4
                                                                  terbentuk endapan putih       

KBiI4            K+ + Bil4-     (pereaksi dragendrof)


      + Bil4-                         Bil4
                                                                         

b. Reaksi umum pada steroid

                            +                            + H2SO4               senyawa kompleks berwarna
                                 Biru (steroid)       ungu/merah (triterpenoid)

c. Uji Flavanoid
C2H5OH + Mg        Mg(OH)2 + C2H5 Mg(OH)2 + CH3 – CH4 + HCl





d. Uji tannin dan polifenol
FeCl3         Fe3+  +  3Cl-   





2.    Pada uji alkaloid dengan menggunakan uji pereaksi meyer (kalium tetraiodo merkurat) dan pereaksi gragendorf (kalium tetraiodo bismutat).
Pada uji pereaksi meyer dihasilkan positif (+) alkaloid, apabila terbentuk endapan putih. Dimana pereaksi meyer bersifat elektrofilik (Hg2+), mengadisi atom C no.2, dimana terlebih dahulu K2HgI4 terlarut dalam air secara reversible dengan mensorvasi asam iodide + KI + HgO, Hg2+ dan HgO membentuk kompleks dengan dua molekul kolid sebagai endapan putih. Menggunakan pereaksi dragendorf (kalium tetraiodo bismutat) (+) alkaloid apabila terbentuk endapan coklat kemerahan atau hitam. Bila hanya uji dengan dragendrof positif sedang pereaksi meyer negatif, maka kesimpulan saya adalah + - - alkaloid. Hal ini karena ikatan yang terjadi antara alkaloid yang mengandung atom N dengan kedua pereaksi ini adalah ikatan koordinasi dengan Hg pada pereaaksi meyer dan dengan Bi pada pereaksi Dragendorf sehingga terbentuk senyawa koordinasi dengan N sebagai ligan dengan warna khas pada masing-masing pencampuran yang bersifat non polar. Namun pereaksi meyer lebih elektrofilik sehingga lebih lama dalam pembentukan kompleks dibandingkan Bi akan lebih mudah membentuk kompleks.



Percobaan Kafein

PENENTUAN KADAR KAFEIN DALAM KOPI
    PENDAHULUAN
    Latar Balakang
Kafein merupakan jenis alkaloid yang secara alamiah terdapat dalam biji kopi, daun teh, daun mete, biji kola, biji coklat, dan beberapa minuman penyegar. Kafein memiliki berat molekul 194.19 dengan rumus kimia C8H10N8O2 dan pH 6.9 (larutan kafein 1% dalam air). Berdasarkan penelitian  para  ahli  menyarankan  200-300 miligram konsumsi kafein dalam sehari merupakan jumlah yang cukup untuk orang dewasa. Tapi, mengonsumsi kafein sebanyak 100 miligram tiap hari dapat menyebabkan individu tersebut tergantung pada kafein.
 Kopi merupakan minuman atau bahan penyegar yang banyak dikonsumsi masyarakat, dari yang miskin sampai kaya. Kopi mengandung kafein, yang dalam dosis rendah dapat mengurangi rasa lelah dan membuat pikiran jadi segar. Meskipun demikian kemajuan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa konsumsi kopi dalam jumlah yang besar berpengaruh tidak baik bagi kesehatan. Ini disebabkan kafein jika dikonsumsi dalam jumnlah tinggi cepat mempengaruhi sistem saraf pusat, sistem pernapasan, otot, pembuluh darah, jantung dan ginjal pada manusia dan hewan. Menurut Sivetz dan Desroirer (1979) dalam dosis yang lebih tinggi lagi kafein dapat menyebabkan jantung berdebar keras, artelosklerosis, merusak hati, tangan gemetar, otot kejang, kepala pusing, mual dan bahkan dapat menyebabkan mutasi pada gen. Oleh sebab itu, pada percobaan ini kadar kafein perlu diketahui dengan pasti di dalam kopi. Penentuan kadar kafein ini dapat menggunakan cara ekstraksi.
    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan maka yag menjadi masalah dalam praktikum ini adalah bagaimana mengisolasi  kafein dalam biji kopi dan berapa kandugan kafein dalam biji kopi.
    Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengisolasi dan menentukan kadar kafein dalam kopi.
    Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini menggunakan metode ekstraksi pelarut dengan prinsip like disolvent like.

    TEORI
    Ekstraksi pelarut adalah proses pemisahan campuran larutan berdasarkan kecenderungan salah satu komponen untuk terlarut dalam solvent yang digunakan. Zat cair yang mula-mula melarutkan solut disebut sebagai diluent, sedangkan zat cair yang dikontakkan dengan solut disebut solvent. Solvent harus memiliki sifat tidak dapat larut atau dapat larut di dalam diluent tetapi dalam jumlah yang terbatas . Ekstraksi selalu melibatkan dua tahapan proses, yaitu tejadinya kontak solvent dengan diluent sehingga komponen yang dapat larut (solut) berpindah ke solvent dan pemisahan larutan dari diluent sisa. Produk yang mengandung konsentrasi solvent terbesar dan konsentrasi umpan cair terkecil disebut ekstrak, dan produk yang mengandung konsentrasi umpan cair terbesar dan konsentrasi solvent terkecil disebut rafinat (Murtono, 2009).
Manusia primitif seringkali menggunakan ekstrak akar, kulit kayu, daun, bunga, buah, dan biji – bijian sebagai obat. Penggunaan tumbuhan untuk maksud pengobatan tidak mesti berdasarkan ketahyulan atau khayalan. Banyak tumbuhan mengandung senyawa yang berdampak faali yang nyata. Zat – zat aktif dalam banyak bahan tumbuhan ini telah diisolasi dan diketahui berupa senyawa nitrogen heterosiklik. Banyak senyawa nitrogen dalam tumbuhan mengandung atom nitrogen basa dan karena itu dapat diekstrak dari dalam bahan tumbuhan itu dengan asam encer. Senyawa ini disebut alkaloid yang artinya : “mirip sekali”. Setelah ekstraksi, alkaloid bebas dapat diperoleh dengan pengolahan lanjutan dengan basa dalam air.
Ekstraksi    : R3N: + HCl          R3NH+Cl-
Regenerasi    : R3NH+Cl- + OH-     R3N: + H2O + Cl-
Struktur alkaloid beranekaragam, dari yang sederhana sampai yang rumit (Fessenden, 1982).
Kopi merupakan spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk famili Rubiaceae dan genus Coffea, tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan dapat tumbuh mencapai tinggi 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung tegak meruncing, daun tumbuh berhadapan pada batang, cabang dan ranting-rantingnya. Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur 2 tahun. Mula-mula bunga ini keluar dari ketiak daun yang terletak pada batang utama atau cabang reproduksi. Bungan yang keluar dari kedua tempat tersebut biasanya tidak berkembang menjadi buah. Kopi merupakan biji-biian dari pohon jenis coffea dengan kandungan alamiah berupa kafein, sitosterin, kolin, terpenoid. Kopi robusta dan arabika adalah jenis kopi yang banyak dikonsumsi di indonesia. Kopi robusta memiliki kadar kafein lebih tinggi dari pada kopi Arabika (Hartono, 2009).
Senyawa kimia pada biji kopi dapat dibedakan atas senyawa volatil dan non volatil. Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, terutama jika terjadi kenaikan suhu. Senyawa volatil yang berpengaruh terhadap aroma kopi antara lain golongan aldehid, keton dan alkohol, sedangkan senyawa non volatil yang berpengaruh terhadap mutu kopi antara lain kafein, chlorogenic acid dan senyawa-senyawa nutrisi. Senyawa nutrisi pada biji kopi terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, dan mineral. Sukrosa yang termasuk golongan karbohidrat merupakan senyawa disakarida yang terkandung dalam biji kopi, kadarnya bisa mencapai 75% pada biji kopi kering. Selain itu, dalam biji kopi terdapat pula gula pereduksi sekitar 1 %. Berkurangnya gula pereduksi yang disebabkan oleh penyimpanan pada suhu tinggi akan menyebabkan turunnya mutu kopi seduhan yang dihasilkan, karena gula merupakan salah satu komponen pembentuk aroma. Golongan asam juga dapat mempengaruhi mutu kopi, karena merupakan salah satu senyawa pembentuk aroma kopi. Asam yang dominan pada biji kopi adalah asam klorogenat yaitu sekitar 8 % pada biji kopi atau 4,5% pada kopi sangrai. Selama penyangraian sebagian besar chlorogenic acids akan terhidrolisa menjadi asam kafeat dan Quinic acid. Selain itu terdapat juga kafein yang merupakan unsur terpenting pada kopi yang berfungsi sebagai stimulant, sedangkan kafeol merupakan faktor yang menentukan rasa. Kafein merupakan suatu alkaloid dari metil xantin yaitu 1,3,7 trimetil xantin (Bhara L.A, 2009).
Kafein adalah suatu senyawa organik nama lain yaitu kafein, tein, 1,3,7 trinotilxantin. Kristal kafein dalam air berupa jarum-jarum bercahaya. Bila tidak mengandung air, kafein meleleh dalam suhu 234-2390C, dan menyublin pada suhu yang rendah, kafein mudah larut dalam air panas, dan kloroform, tetapi sedikit larut dalam air dingin dan alkohol. Secara alamiah selain dari dalam biji kopi, kafein pula terdapat dalam daun teh, daun mete, biji kola, dan coklat. Kafein bersifat sebagai basa lemah dan hanya dapat membentuk garam dengan basa kuat (Abraham, 2011).
          Di alam terdapat beberapa senyawa alkaloid santin, antara lain 1,3-dimetilsantin (theophilin), 3,7-dimetilsantin (theobromine) yang banyak terdapat dalam biji coklat dan 1,3,7-trimetilsantin (kafein) dalam kopi dan teh.





          Kafein adalah basa sangat lemah dalam larutan air atau alkohol tidak terbentuk garam yang stabil. Kafein terdapat sebagai serbuk putih, atau sebagai jarum mengkilat putih, tidak berbau dan rasanya pahit. Kafein larut dalam air (1:50), alkohol (1:75) atau kloroform (1:6) tetapi kurang larut dalam eter. Kelarutan naik dalam air panas (1:6 pada 80oC) atau alkohol panas (1:25 pada 60 oC). Kafein berbentuk anhidrat. Mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,1% C8H10N4O2 (Novianti, 2008).

    METODE PRAKTIKUM
     Alat dan Bahan
    Alat yang digunakan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Pipet volume 25 mL , Karet penghisap, Gelas kimia 100, 500 mL, Pipet tetes, Botol semprot, alat refluks, gelas ukur 100, erlenmeyer, pemanas, corong buchner, batang pengaduk, cawan porselin, kertas saring dan corong pisah.
    Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kopi halus, Larutan Asam Nitrat encer (HNO3), kloroform, timbal asetat, amonium hidroksida, dan aquades.


    Prosedur Kerja

    HASIL DAN PEMBAHASAN
    Hasil Pengamatan
No.    Perlakuan    Pengamatan
1.

2.
3.

4.


5.

6.    20 g kopi + 350 mL Aquadest

Direfluks selam 25 menit
Filtrat ditambah timbal asetat ditetesi sedikit demi sedikit lalu disaring                                                         
Filtrat + 25 mL kloroform dalam corong pisah dikocok   

Lapisan atas + 20 mL kloroform     dikocok
Lalu didiamkan
Lapisan bawah dikeluarkan & ditampung dalam cawan penguap. Lalu ditutup dengan kertas saring dan corong kaca lalu diuapkan.    Kafein pada kopi larut

Larutan homogen
Terbentuk endapan
 
Terbentuk dua lapisan (lapisan atas dan bawah) Lapisan bawah (CHCl3) = coklat susu, bagiat atas (air)=coklat muda
Terbentuk dua lapisan. Lapisan bawah (CHCl3) = coklat susu, bagiat atas (air)=coklat muda
Diperoleh berat kristal 0,7673 g dengan rendemen 3,8365%

         Struktur kafein (1,3,7 trimetilxantin) yaitu:

    Perhitungan:
    Berat kertas saring kosong = 1,0803 g
    Berat kertas saring + kristal kafein = 1,6381 g
    Berat cawan kosong = 68,9784 g
    Berat cawan + kafein = 69,187 g
    Kafein pada kertas saring : 1,6381-1,0803 = 0,5576 g
    Kafein pada cawan : 69,187- 68,978 = 0,2095 g
    Berat kristal kafein = 0,5578 + 0,2095
        = 0,7673 g
    Berat kopi = 20 g
    Rendemen  kafein = (Berat kafein)/(berat kopi)  x 100%
=  0,7673g/(20 g)  x 100%
                       = 3,8365 %
    Pembahasan
    Kafein merupakan senyawa bahan alam yang tersebar luas dan tergolong dalam senyawa alkaloid dengan rumus molekul C8H10N4O2, bersifat basa lemah, berbentuk serbuk putih yaitu kristal-kristal panjang, rasanya pahit, memiliki titik leleh sebesar 234-2390C serta menyublin pada temperature 180-2000C. Kelarutan kafein: larut baik dalam kloroform, air mendidih dan alcohol, sedikit larut dalam air dingin dan eter dan mempunyai efek dosis 0,15-0,25 g/sekali dengan rumus molekul:

(1,3,7-trimetilxantin)
       Kadar kafein dalam biji kopi (Cafea sp.) ialah 0.2 – 2.2 persen. Untuk bermacam-macam kopi kadar kafeinnya berbeda-beda. Misalnya kadar kafein pada kopi robusta 1.5 – 2.5 persen, kopi arabika 1.0 - .1.2 persen, kopi leberia 1.4 – 1.6 persen dan kopi mukka 1.4 – 1.6 persen.  Pada suhu 25oC kafein larut dalam campuran 45.6 bagian air, yang kelarutannya meningkat dengan makin tingginya suhu air misalnya pada suhu 25oC dapat larut 2.13 gram kafein/ 100 g air sedangkan pada suhu 100oC pelarutannya 50.0 g kafein/100 g air. Pelarut yang dapat digunakan untuk melarutkan kafein yaitu eter, kloroform dan air panas. Ketiga pelarut tersebut dapat mengekstrak kafein dengan baik, tidak meninggalkan residu (karena menguap pada waktu dikeringkan), dapat di daur ulang. Akan tetapi pelarut eter dan kholoroform  mempengaruhi flavor (cita rasa) kopi. Sedangkan air, terutama air panas jika digunakan sebagai pelarut kafein akan menghilangkan flavor kopi pada kopi yang dihasilkan.
Pada percobaan ini, digunakan metode sederhana dalam mengekstrak kafein pada kopi  yaitu dengan metode  ekstraksi yang didasarkan pada distribusi solut dalam hal ini kafein dalam kopi antara dua fasa yaitu fasa organik (kloroform) dan fasa anorganik (air).  Sebelum melakukan ekstraksi, kopi direfluks terlebih dahulu menggunakan pelarut air selama 25 menit. Karena kafein dapat larut dengan baik pada air panas, sehingga harus dilarutkan pada air panas yang mendidih. Fungsi dari refluks ini yaitu agar dapat menghomogenkan kopi dan pelarut dengan waktu yang cukup lama dan bertujuan menarik senyawa kafein dari kopi karena sifat kafein yang mudah larut dalam air panas. Pada proses refluks tidak menggunakan kloroform sebagai pelarut karena kloroform memiliki titk didih yang rendah dari air yaitu sekitar 77,1oC.  Setelah proses merefluks selesai, campuran panas disaring kedalam corong buchner. Fungsi dari penyaringan ini yaitu agar kafein yang terdapat dalam campuran kopi tadi dapat terpisah dari filtrat atau ampas kopi, sehingga yang didapat dalam larutan kopi adalah kafein dan filtratnya. Setelah itu, ditambahkan timbal asetat tetes demi tetes agar zat-zat pengotor dapat mengendap dan diperoleh kafein yang bebas pengotor. Penambahan timbal asetat tetes demi tetes dimaksudkan agar struktur kafein tidak rusak dalam larutan kopi. Setelah penambahan timbal asetat diperoleh endapan dalam filtrat. Endapan tersebut merupakan zat-zat pengotor. Maka dari itu, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan endapan yang terdapat dalam filtrat kafein.
Selanjutnya filtrat kafein didinginkan dan dilakukan ekstrasi (dengan cara pengocokkan atau pengadukan) dengan menggunakan pelarut kloroform. Ekstrasi dilakukan sebanyak 2 kali dengan tujuan, agar kafein pada filtrat benar-benar terpisah dan larut dalam kloroform. Pada ekstraksi pertama ditambahkan kloroform 25 mL dan ekstraksi ke dua ditambahkan sebanyak 20 ml. Setelah di ekstraksi terbentuk dua lapisan. Lapisan atas lapisan atas merupakan  lapisan fasa air yang mengandung sisa garam dan Pb dan lapisan bawah atau fasa organik merupakan lapisan yang mengandung kafein dalam kloroform. Terbentuknya dua lapisan disebabkan karena perbedaaan massa jenis antara larutan kopi dengan kloroform;dimana larutan kopi mempunyai berat jenis yang lebih kecil dari kloroform dan  perbedaan kepolaran, larutan kopi bersifat polar sedangkan kloroform bersifat non polar.
    Pada saat ekstraksi, campuran larutan harus dikocok kuat dan di diamkan sesaat agar campuran tersebut dapat terdistribusi secara sempurna. Lapisan bawah pada corong pisah dimasukkan kedalam erlenmeyer, diuapkan cairan tersebut diatas penangas sampai kering dan ditutup dengan kertas saring agar kristal kafein yang terlarut tidak keluar dari cawan. Pada suhu tinggi (234oC-239 oC) kafein akan meleleh dan menyublin pada suhu rendah. Pada percobaan ini, tidak didapatkan bentuk kristal. Hal ini disebabkan karena pada saat proses penguapan kafein dilakukan pada suhu yang tinggi sehingga kristal kafein meleleh. Namun tetap dilakukan perhitungan berat kafein pada cawan dan kertas saring. Kadar kafein pada percobaaan ini diperoleh sebasar 3,8365%  atau sebesar 0,7673 gram kafein dari 20 gram kopi. Sedangkan menurut Malato et al (2001) kadar kafein yang layak untuk dikonsumsi pada kopi robusta secara teoritis adalah 1,5-2% dari berat kopi.

V.SIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa, kadar kafein dalam kopi dapat diisolasi dengan cara dipanaskan dan diekstraksi sehingga berat kristal kafein yang berhasil diisolasi dari kopi adalah  0,7673 gram dengan kadar protein yang terkandung dalam 20 gram kopi yaitu sebesar 3,8 %.

Tugas Setelah Praktikum
    Apa kegunaan kloroform pada percobaan ini? Dan mengapa pada langkah ke 6 dari cara kerja diatas ditambahkan lagi kloroform!
    Bagaimana bentuk struktur bentuk kafein yang diperoleh, tuliskan rumus strukturnya!
Jawab
    Tujuan penambahan kloroform pada percobaan ini adalah untuk mengekstrat kafein dari larutan kopi,sebagaimana diketahui bahwa kafeinlarut dengan baik dalam kloroform.  Pada langkah ke 6 ditambahkan lagi kloroform dengan untuk mengikat kembali sisa-sisa kafein yang masih ada dalam larutan kopi dan belum keluar pada pengekstrakkan pertama.
    Bentuk kafein yang diperoleh adalah berbentuk kristal putih seperti jarum bercahaya.  struktur kafein yaitu:

(1,3,7-trimetilxantin)


DAFTAR PUSTAKA
Abraham, 2012. Penuntun Praktikum Kimia Organik II. UNHALU. Kendari.
Braha L.A, Makna. 2009. Pengaruh Pemberian Kopi Dosis Bertingkat Per Oral 30 Hari Terhadap Gambaran Histologi Hepar Tikus Wistar. Universitas Diponegoro. Semarang.
Fessenden, R. J., dan Fessenden, J. S., 1982. Kimia Organik Jilid 2 Edisi 3. Erlangga. Jakarta.
Hartono, Elina. 2009. Penetapan Kadar Kafein Dalam Biji Kopi Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. 2. ISSN 1979-35X.
Murtono, Rohmat dkk. 2009. Desain Konseptual Proses Ekstraksi Produk Fisi dari Bahan Bakar Molten Salt Reactor. Jurnal Teknologi Reaktor Nuklir. 11. 98-110.
Syah Fitri, Novianty. 2008. Pengaruh Berat dan Waktu Penyeduhan Terhadap Kadar Kafein dari Bubuk Teh. Universitas sumatera Utara. Medan.




Jumat, 02 November 2012

Isolasi Asam Miristat

BAB I
PENDAHULUAN
I.1  LATAR BELAKANG
    Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Kelimpahan dan keberaneka ragaman makhluk hidup yang tersedia alam membuat negara kita kaya akan bahan alam untuk dikelolah dan dimanfaatkan. Keberagaman ini terutama pada kelimpahan tumbuhan. Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki keberaneka ragaman tumbuhan memiliki banyak potensi dalam pengolahan bahan alam menjadi produk yang berdaya jual tinggi.
Pala sebagai salah satu tumbuhan yang banyak tumbuh hampir diseluruh wilayah indonesi, secara lokal dimanfaaatkan sebagai rempah-rempah memiliki daya jual yang lebih di mata dunia. Bukan sekedar keterpakaiannya sebagai rempah-rempah namun manfaat lain dari pengelolahan biji pala misalnya menjadi minyak pala dan pengelolahan biji pala menjadi komponen-komponen penyusunnya. Pala yang merupakan faktor terpilihnya indonesia sebagai negara jajahan oleh belanda, dalam pengelolahannya memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan manusia.
Pengelolahan biji pala menjadi komponen penyusunnya, atau dalam istilah kimia dikenal dengan isolasi senyawa, banyak bekembang belangan ini. Hasil analisis Collin dan Hilditch menunjukan bahwa bijih pala mengandung 73% gliserida jenuh yang terdiri atas komponen-komponen asam lemak dengan presentase asam miristat sekitar 86% dari keseluruhan asam lemak. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa senyawa gliserida, dalam hal ini trimistin terdapat dalam jumlah atau proporsi yang sama dengan asam miristat.
Berkaitan dengan hal ini maka praktikum dengan tujuan mengisolasi asam iristat dalam biji pala diramu dalam praktikum kimia organik II dengan judul “Isolasi asam miristat dalam biji pala”
I.2  RUMUSAN MASALAH
    Adapun rumusan masalah dari praktikum ini adalah Berapa banyak kandungan asam miristat dalam biji pala?
I.3  TUJUAN PRAKTIKUM
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengisolasi asam miristat dalam biji pala.
I.4  MANFAAT
Hasil praktikum ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi mengenai isolasi senyawa dan sebagai rujukan dan pembanding pada praktikum selanjutnya.


BAB II
LANDASAN TEORI
III.1 Deskripsi  Tanaman Pala




Gambar 3.1 Biji pala (Myristica Fragan Haitt)
Pala (Myristica Fragan Haitt) merupakan tanaman buah berupa pohon tinggi asli Indonesia, karena tanaman ini berasal dari Banda dan Maluku. Tanaman pala menyebar ke Pulau Jawa, pada saat perjalanan Marcopollo ke Tiongkok yang melewati pulau Jawa pada tahun 1271 sampai 1295 pembudidayaan tanaman pala terus meluas sampai Sumatera.
Klasifikasi ilmiah dari tanaman pala adalah
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
     Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
         Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
             Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
                 Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
                     Sub Kelas: Magnoliidae
                         Ordo: Magnoliales
                             Famili: Myristicaceae
                                 Genus: Myristica
                                     Spesies: Myristica fragrans Houtt   (Anonim1, 2011)
Tanaman pala memiliki beberapa jenis, antara lain: 1) Myristica fragrans Houtt, 2) Myristica argentea Ware, 3) Myristica fattua Houtt, 4) Myristica specioga Ware, 5) Myristica Sucedona BL, 6) Myristica malabarica Lam. Jenis pala yang banyak diusahakan adalah terutama Myristica fragrans, sebab jenis pala ini mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi daripada jenis lainnya. Disusul jenis Myristica argentea dan Myristica fattua. Jenis Myristica specioga, Myristica sucedona, dan Myristica malabarica produksinya rendah sehingga nilai ekonomisnya pun rendah pula.
Komposisi biji pala secara umum adalah arilus : Minyak atsiri, minyak lemak, zat samak, dan zat pati; Biji: Minyak atsiri, minyak lemak, saponin, miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, hars, zat samak, lemonena, dan asam oleanolat; Kulit buah: Minyak atsiri dan zat samak. Secara spesifik Biji pala mengandung 73 % gliserida jenuh yang terdiri atas komponen-komponen asam lemak : asam laurat 1,5 %, asam miristat 76,6 %, asam palmitat 10,5 %, asam oleat 10,5 % dan asam linoleat 1,3 %. Proporsi asam miristat yang begitu besar terikat dalam trigliserida menunjukan bahwa senyawa trigliserida, dalam hal ini trimiristin terdapat dalam jumlah atau proporsi yang sama dengan asam mirista. Jika asam palmitat dan asam laurat dibandingkan relatif terhadap asam miristat, maka proporsi trimiristin didalam gliserida adalah kira-kira 77 % atau 55 % dari lemak total. Bomer dan Ebark berhasil mengisolasi 40% trimiristin dengan cara mentransasi biji pala.
Sebelum dipasarkan, biji dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya. Pengeringan ini memakan waktu enam sampai delapan minggu. Bagian dalam biji akan menyusut dalam proses ini dan akan terdengar bila biji digoyangkan. Cangkang biji akan pecah dan bagian dalam biji dijual sebagai pala. Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran, dan minuman penyegar (seperti eggnog). Minyaknya juga dipakai sebagai campuran parfum atau sabun. Manfaat lain dari biji pala adalah kristal daging buah pala.
Sifat khas dari biji pala adalah Menetralkan. Khasiatnya adalah Arilus : Stomakik, karminatif, dan stimulan; Biji: Karminatif, spasmolitik, dan antiemetik; Penelitian Sudjiman Djojosengodjo S. Bagian Farmakologi, FKH UGM., Telah melakukan penelitian efek sedatif infus biji Pala pada mencit. Dari hasil penelitian tersebut, ternyata pemberian secara oral menghasilkan simpulan berikut. a. Infus biji Pala 10% efek sedatif lebih tinggi daripada infus biji Pala 5%. b. Efek infus biji Pala 10% lebih kurang 1/10 efek klorpromazina 0,05%. Sukapti, Harjoso Hardjopranoto, Rahardjo, dkk., 1978. Universitas Airlangga. Telah melakukan penelitian pengaruh ekstrak Pala terhadap efek relaksasi otot polos usus halus kelinci terpisah. Dari hasil penelitian tersebut, ternyata ekstrak Pala mempunyai efek relaksasi terhadap otot polos usus halus. Umi Sapta Rini dan Nurfina Aznam, 1980. Fakultas Farmasi, UGM. Pembimbing: dr. R.H. Yodono dan Drs. Sarjoko, Apt. Telah melakukan penelitian efek sedatif seduhan biji Pala pada mencit. Dari hasil penelitian tersebut, ternyata ada perbedaan yang nyata antara sebelum dan sesudah diberi seduhan biji Pala pada konsentrasi 60% dan 80%.

III.2  Asam Miristat
Trimiristin adalah suatu gliserida atau lebih tepat trigliserida yang terbentuk dari gliserol dan asam miristat. Rumus molekulnya adalah :



Gambar 3.2 Rumus Molekul trimiristin
Nama lain dari asam miristat adalah asam tetra tetradekanoar wujudnya berupa kristaL berwarna putih agak berminyak. Rumus molekulnya adalah CH3(CH2)12COOH. Titik leleh 54,4 oC dan titik didih 326,2 oC. Sangat larut dalam alkohol dan eter. Asam miristat pertama kali di isolasi oleh Playfair pada tahun 1841 dan sekaligus menemukan bahwa asam miristat merupakan komponen utama biji pala ditemukan pula bahwa asam miristat terdapat dalam semua spesies myritica tetapi dalam jumlah yang tidak begitu besar dibandingkan dengan pala. Meskipun asam miristat larut dalam alkohol dan eter, ia tidak larut dalam air. Sifat ini digunakan untuk mengkristalkan asam miristat dari hasil hidrolisa trimiristin.
Asam miristat atau asam tetradekanoat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari 14 atom C. Asam ini pertama-tama diekstrak dari tanaman pala (Myristica fragrans). Meskipun demikian, aroma khas pala tidak berasal dari asam ini melainkan dari minyak atsiri yang juga dapat dijumpai pada buah tanaman ini (Anonim2, 2010). Kegunaan asam miristat adalah untuk sabun, kosmetik, farfum, dan ester sintesis untuk flafor dan aditif pada makanan (Fauziah,2006). Ekstrak biji pala sangat bermanfaat dalam upaya pengelolaan Diebetes Militus Tipe 2 (DMT2) karena aktivasinya sebagai antihiperglikemik dan antidislipidemik serta dapat menurunkan risiko komplikasi penyakit DM yang dipicu oleh inflamasi, disfungsi endotel dan aterosklerosis melalui aktivitasnya sebagai antioksidan dan antiinflimasi (Shaleh, 2009).
Pala (Myristica fragrans ) adalah 75% trimiristin, yang trigliserida asam miristat. Selain pala, asam miristat juga ditemukan di kernel kelapa sawit, minyak kelapa, lemak mentega dan merupakan komponen kecil dari banyak lemak hewan lainnya. Hal ini juga ditemukan di spermacetin, kristalisasi fraksi minyak dari sperma ikan paus. Asam miristat juga sering ditambahkan co-translationally ke kedua dari belakang, nitrogen-terminal, glisin dalam reseptor-terkait kinase untuk menganugerahkan lokalisasi enzim membran
III.3  Isolasi senyawa
Prosedur klasik untuk memproleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan mengekstraksi-sinambung serbuk bahan dengan alat soxlet dengan menggunakan sederetan pelarut secara berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk memisahkan lipid dan terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat (untuk senyawa yang lebih polar). Metode ini berguna bila kita bekerja dengan skala gram. Tetapi jarang sekali kita mencapai pemisahan kandungan dengan sempurna dan senyawa yang sama mungkin saja terdapat (dalam perbandingan yang berbeda) dalam beberapa fraksi (Harbone, 1987).
Lemak pala adalah campuran dari minyak atsiri yang diperoleh dari pemanasan. Panas biji pala (yang telah dihilangkan selaput dan kulit bijinya) dengan minyak lemak. Dengan demikian minyak tersebut bagaikan lemak tidak homogen, lemak pala berwarna kuning kemerah-merahan atau kuning berwarna coklat dengan bercak-bercak putih, bau dan rasanya tidak berbeda dengan bau dan rasa buah pala. Lemak pala mengandung zat-zat sebagai berikut :
    Gliserida trimiristin (sekitar 75%) tultolent
    Gliserida asam seventrict, asam asetat
    Miristin (sekitar 8,5%) meskipun zat yang tersebarkan
    Minyak atsiri (sekitar 6-12,5%) terkandung pigmen kafein, dipentin, tripineol.
Dengan kandungan zat-zat tersebut lemak pala digunakan untuk stimulansia luar ataupun sebagai obat gosok (Mulyadi, 1990)
Prosedur dan tehnik pemisahan asam miristat dari biji pala pada dasarnya adalah ekstraksi trimiristin dari biji pala menggunakan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan trimiristin sebanyak-banyaknya. Karena trimiristin ini terdapat dalam biji pala dengan kadar tinggi, maka hasil ekstraksi yang murni dapat dicapai dengan cara ekstrasi sederhana dan kristalisasi. Setelah didapatkan kristal trimiristin yang murni tahap selanjutnya adalah menghidrolisa trimiristin dalam suasana basa sehingga dihasilkan asam miristat dan gliserol. Asam miristat kemudian dipisahkan dengan cara kristalisasi. Reaksi hidrolisa yang terjadi adalah sebagai berikut :



Gambar 3.3 Reaksi Hidrolisis Trimiristin menjadi asam miristat
Pengertian hidrolisis adalah penguraian senyawa oleh pengaruh air. Minyak atsiri sering mengandung senyawa ester. Ester oleh adanya air dan terutama pada suhu tinggi dapat bereaksi dengan menghasilkan asam karboksilat dan senyawa alkohol. Pada peristiwa hidrolisis ini ternyata hanya sebagian senyawa ester yang bereaksi dengan air, hingga bila keseimbangan tercapai maka terjadi suatu campuran yang terdiri atas ester yang tersisa, asam karboksilat dan senyawa alkohol yang dihasilkan. Pada penyulingan uap dan air, ternyata pengaruh hidrolisis sangat kecil bila dibandingkan dengan penyulingan air. Kerugian lain pada penyulingan air adalah karena kontak antara air dan minyak atsiri cukup lama hingga hidrolisis dapat terjadi dalam waktu yang lama. Bila hidrolisis terhadap ester terjadi, maka akan mempengaruhi kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Senyawa ester lazim memiliki bau harum yang khas (Sastrohamidjojo, 2004).


BAB III
METODELOGI PENELITIAN
III.1  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at 20 Mei 2011 di Laboratorium Pengembangan Unit Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo Kendari.
III.2  Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Pipet volume 25 mL , Karet penghisap, Gelas kimia 100, 500 mL, Pipet tetes, Botol semprot, alat shoklet, alat refluks, gelas ukur 100. Erlenmeyer, mortal, pemanas, corong burcher Batang pengaduk, Gelas ukur 10 mL
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu biji pala, benzena, eter, aseton, es batu, kertas saring, NaOH 6 M, HCl 6 M , alkohol 96%, aquades dan benang.

III.3  Prosedur Kerja


    di timbang
    ditambahkan 150 mL benzene
    disoxlet 2-3 jam

    ditambahkan 50 mL Aseton
    dimasukan ke dalam erlenmeyer
     didinginkan selama 1 jam pada suhu kamar
    Didinginkan 30 menit dengan es


    ditimbang 1 mg
    ditambahkan NaOH 6 M dan 20 mL etanol
    direfluks 1 jam

    dimasukan ke dalam 150 mL air
    ditambahkan 20 mL HCl
    disaring dan dihitung rendemennya

         

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1  HASIL
Berat mula-mula biji pala     = 10 gram
Berat trimiristin        = 6,3 gram
    Perhitungan Kadar
Berat asam miristat untuk tiap gram trimiristin = 0,8 gram
%  kadar trimiristin  =(berat trimiristin )/(berat sampel)  x 100%
=(6,3gram )/10gram  x 100%=63%
% asam miristat untuk tiap gram trimiristin = =(berat asam miristat )/(1 gram)  x 100%
=0,8/1gram  x 100%=80%
Sehingga kadar asam miristat dalam 10 gram sampel biji pala adalah 6,3 x 80% = 50,4%

    Sedangkan % rendemen asam miristat = (berat praktek asam mirirtat)/(berat teoritis asam miristat)  x 100%
Berat trimiristin yang direfluks = 1 gram
Berat asam miristat yang diperoleh = 0,8 gram
    Berat teoritis asam miristat



Mol trimiristin =  (massa trimiristin)/(Mr trimiristin)= (1 gram)/(722 gram/mol)=1,385 x〖10〗^(-3)
Massa asam miristat secara teori = mol trimiristin x 3 x Mr asam miristat
                    = 1,385 x〖10〗^(-3)  x 3 x 228=0,947 gram
    Jadi  % rendemen asam miristat = (berat praktek asam mirirtat)/(berat teoritis asam miristat)  x 100%
(0,8 gram)/(0,947 gram)  x 100% =84,44%

IV.2  PEMBAHASAN
Biji pala (Myristica fragrans Houtt) secara spesifik biji mengandung 73 % gliserida jenuh yang terdiri atas komponen-komponen asam lemak : asam laurat 1,5 %, asam miristat 76,6 %, asam palmitat 10,5 %, asam oleat 10,5 % dan asam linoleat 1,3 %. Proporsi asam miristat yang begitu besar terikat dalam trigliserida menunjukan bahwa senyawa trigliserida, dalam hal ini trimiristin terdapat dalam jumlah atau proporsi yang sama dengan asam mirista. Jika asam palmitat dan asam laurat dibandingkan relatif terhadap asam miristat, maka proporsi trimiristin didalam gliserida adalah kira-kira 77 % atau 55 % dari lemak total. Bomer dan Ebark berhasil mengisolasi 40% trimiristin dengan cara mentransasi biji pala.
Prinsip percobaan ini yaitu didasarkan pada proses pengisolasian asam miristat dalam biji pala dengan menggunakan pelarut yang sesuai dan selanjutnya kristal yang dihasilkan dihidrolisis menghasilkan asam miristat dan gliserol serta dikristalisasi. Isolasi asam miristat diawali dengan ekstraksi trimiristin dari biji pala. 10 gram Biji pala (Myristica fragrans Houtt)  yang digunakan dihaluskan kemudian diekstraksi soxlet. Prinsip kerja dari ekstraksi soxlet ini adalah sampel melarut, pelarutannya berkurang karena terjadi penguapan dan uap tersebut jatuh kembali (proses berulang) hingga ekstrak berwarna sama dengan pelarut yang digunakan. Setelah serbuk pala dihaluskan diekstraksi dengan 150 mL benzena sebagai pengekstrak, dengan cara di soxlet selama 2-3 jam untuk mendapatkan minyak dari pala tersebut. Cara ini merupakan cara ekstraksi yagn efisien karena dengan alat ini pelarut yang digunakan dapat diperoleh kembali. Bahan padat membutuhkan pelarut yang lebih banyak agar seluruh kandungan senyawa yang akan diambil terektrak sempurna.  Benzena digunakan  sebagai pelarut karena trimiristin bersifat Non polar sehingga mudah larut dalam pelarut Non polar seperti benzena. Menurut ketaren, kelarutan minyak atau lemak dalam suatu pelarut ditentukan oleh sifat polaritas asam lemaknya. Asam lemak yang bersifat polar cenderung larut dalam pelarut non polar, sedangkan asam lemak Non polar larut dalam pelarut Non polar. Trimiristin minyak pala selain pada pelaru benzena, juga dapat larut dalam kloroform,etanol dan eter.
Setelah dieksatrak akan menghasilkan berupa minyak, kemudian ditambahkan aseton sambil tetap dipanaskan, ini dilakukan agar reaksi yang terbentuk itu lebih cepat. Penambahan aseton bertujuan untuk memisahkan benzena dan trimiristin yang dapat membentuk gugus ester atau ikatan ester yang membentuk Kristal trimiristat. Kemudian larutan didinginkan selama 1 jam karena proses penghabluran senyawa-senyawa ini untuk membentuk trimiristin berjalan lambat.kemudian setelah proses penghabluran selesai maka larutan didinginkan dengan es agar trimiristin membentuk kristal. Dari proses ini diperoleh kristal trimiristin setelah penyaringan seberat 6,3 gram atau kadarnya sebesar 63% dari biji pala. , sesuai dengan perkiraan Bomer dan Ebark bahwa proporsi trimiristin didalam gliserida adalah kira-kira 77 % atau 55 % dari lemak total meski mereka berhasil mengisolasi 40% trimiristin dengan cara mentransasi biji pala.
Trimiristin adalah suatu gliserida, yakni ester yang terbentuk dari gliserol dan asam miristat. Trimiristin atau disebut juga gliserol trimiristat, merupakan suatu polimer dengan rumus molekul



Gambar 4.1 struktur molekul trimiristin
Trimiristin mempunyai titik leleh 54,4oC yang sifat larutannya digunakan untuk mengkristalkan asam miristat dan hasil hidrolisis trimiristin. Hidrolisis adalah penguraian senyawa oleh pengaruh air. Minyak yang mengandung senyawa ester pada suhu tinggi dapat bereaksi dengan menghasilkan asam karboksilat dan senyawa alcohol. 
Pada tahap hidrolisis, trimiristat yang dihasilkan dihidolisis agar Kristal trimiristat berada dalam keadaan basa karena reaksi akan berjalan irreversibel dan cepat pada suasana basa dengann NaOH 6 N sebagai katalis. Selain itu, Kristal harus berada dalam suasana basa agar menghasilkan asam miristat dan gliserol kemudian ditambahkan dengan NaOH dan etanol.






Gambar 4.2 Reaksi katalisis Trimiristin oleh basa
Fungsi penambahan etanol adalah untuk mencegah terjadinya penyabunan karena saat ditambahkan NaOH akan bereaksi dengan trimiristin membentuk sabun. Reaksi penyabunan merupakan suatu Hidrolisis alkali dari lemak menghasilkan gliserol dan garam dari asam lemak asam karboksilat yang disebur sabun. Selanjutnya direfluks selama 1 jam dengan tujuan agar terjadi penambahan energy aktivitas sehingga mekanisme pembentukan Kristal miristat dapat berjalan dengan adanya pemutusan ikatan ester pada trimiristin.
    Penambahan air dan HCl setelah proses refluks bertujuan untuk mendapatkan Kristal asam miristat yang berupa zat padat berwarna putih. Kemudian Kristal yang dihasilkan dicuci dengan air untuk mengetahui kemurnian Kristal apakah murni asam miristat atau terbentuknya sabun. Sesuai dengan mekanisme reaksi berikut:
       O                             H+                     OH                         H2O
      CH3(CH2)12      C   +  CH3(CH2) OH          CH3(CH2)12    C    O(CH2)12CH3         
             OH                        H+                           O   
     CH3(CH2)12    C   O(CH2)12CH3               CH3CH2O    C    (CH2)12CH3   
             OH                        OH
   O         H+               OH                       OH
    CH3(CH2)12   C   OH        CH3(CH2)12   C   O(CH2)12CH3         CH3(CH2)12   C
                           OH                           O-OH
   O-H                  O      H+            O
    CH3(CH2)12    C+        CH3(CH2)12      C+              CH3(CH2)12    C    OH
                               Asam Miristat
           OH                  O¬¬-H
Gambar 4.3 Reaksi Hidrolisis Trimiristin menjadi asam miristat
Biasanya Trimiristin terdapat dalam jumlah atau proporsi yang sama dengan asam miristat. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis Collin dan Hilditch yang menunjukkan bahwa biji pala mengandung 73% gliserida jenuh yang terdiri atas komponen-komponen asam lemak dengan persentase asam miristat sekitar 86,6% dari keseluruhan asam lemak. Setelah pencucian diperoleh Kristal asam miristat murni, yang kemudian dikeringkan dengan kadar 80% per gram trimiristin atau 50,4% dari berat  biji pala. Hasil ini lebih sedikit dari hasil yang informasi yang diberikan oleh Ipteknet yaitu kadar  asam miristat 76,6 % dari biji pala. Sedangkan berdasarkan perhitungan rendemen asam miristat diperoleh 84,44%, lebih sedikit dari berat kristal secara teori. Namun hal ini menunjukan bahwa trimiristin terdapat dalam jumlah atau proporsi yang sama dengan asam miristat. 

BAB V
PENUTUP
V.1  KEIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum adalahisolasi asam miristat diawali dengan akstraksin trimiristin dari biji pala dengan menggunakan benzena, yang menghasilkan  Kristal asam miristat sebesar 80% untuk tiap gram trimiristin atau 50,4% dari biji pala.

V.2  SARAN
    Sebaiknya dalam praktikum selanjutnya untuk menghitung kadar trimiristin ataupun asam miristat, kedua kristal ini dikeringkan hingga molekul airnya tidak memiliki pengaruh yang besar pada perhitungan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim1, 2011. Informasi Biji Pala. http://www.plantamor.com.

Anonim2, 2010. Asam Miristat.http://www.wikipedia.co.id.

Anonim3. 2011. Tanaman Obat Indonesia. http://www.IPTEKnet

Desnelli dan Zainal Fanani. 2009. Kinetika Reaksi Oksidasi Asam Miristat, Stearat Dan Oleat Dalam Medium Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit, Serta Tanpa Medium. Jurnal Penelitian Sains. 12 (1C):12107-1 – 12107-6. Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

Fauziah,Innah. 2006. Isolasi Asam Miristat Dari Biji Pala. http://www.asiamaya.com.

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.
   
Sastrohamidjojo, Hardjono. 2004. Kimia Minyak Atsiri. UGM. Yogyakarta.

Shaleh, Malikkul. 2009. Ekstrak Biji Pala Berpotensi Jadi Obat Diabetes Mellitus Tipe 2. Unpad.ac.id.

Tim budidaya pertanian. 2000. Pala. http://www.ristek.go.id

Identifikasi Aldehid dan Keton

BAB I
PENDAHULUAN
I.1  LATAR BELAKANG
    Senyawa karbon merupakan senyawa yang kelimpahannya banyak dan beragam di alam semesta. Aldehida dan keton merupakan kelompok senyawa organic yang mengandung gugus karbonil memiliki beberapa persamaan dan perbedaan baik dari segi sifat-sifat kimia, fisika dan kegunaan.
Suatu aldehid mempunyai satu gugus alkil atau eril dan satu hydrogen yang terikat pada karbon karbonil dengan rumus RCHO, sedangkan suatu keton mempunyai dua gugus alkil atau aril yang terikat pada karbon karbonil dengan rumus umum RCOR. Aldehid dan keton umumnya mengalami reaksi pada gugus karbonil, oleh karena itu struktur dan sifat gugus karbonil diketahui terlebih dahulu. Gugus karbonil terdiri dari sebuah atom karbon sp2 yang dihubungkan kesebuah atom O oleh satu ikatan σ dan satu ikatan π (Anonim, 2000).
Meski sama-sama merupakan sennyawa organik yang memiliki gugus C sp2 yang terhung dengan O namun dalam penggunaannya kedua senyawa ini berbeda. Senyawa aldehid memilik gugus karbonil yang mudah teroksidasi sedangkan keton tidak. Namun karena secara fisik kedua larutan ini memiliki sifat yang sama, maka praktikum dengan judul “Identifikasi Aldehid dan Keton” ini dilakukan.

I.2  RUMUSAN MASALAH
    Adapun rumusan masalah dari praktikum ini adalah Bagaimana cara mengidentifikasi aldehid dan keton?

I.3  TUJUAN PRAKTIKUM
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mempelajari teknik senyawa aldehid dan keton.

I.4  MANFAAT
Hasil praktikum ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi mengenai pembuatan  etil asetat dan sebagai rujukan dan pembanding pada praktikum selanjutnya.


BAB II
LANDASAN TEORI
III.1  Deskripsi  Senyawa Aldehid dan Keton
III.I.1  Aldehid
Aldehid memiliki rumus molekul RCHO merupakan suatu senyawa yang mengandung sebuah gugus karbonil yang terikat pada sebuah atau dua buah atom hydrogen. Nama IUPAC aldehid diturunkan alkana dengan mengganti akhiran “ana” dengan “al” nama umumnya didasarkan nama asam karboksilat ditambahkan dengan akhiran deida. Salah satu reaksi untuk pembuatan aldehid adalah oksidasi darai alcohol primer. Kebanyakan oksidator tak dapat dipakai karena akan mengoksidasi aldehidnya menjadi asam karboksilat. Oksidasi khrompiridin kompleks seperti piridinium khlor kromat adalah oksidator yang dapat berubah alcohol primer menjadi aldehid tanpa merubahnya menjadi asam karboksilat (Petruci, 1987).
Karbon dan oksigen pada gugus karbonil berbagi dua pasang electron, namun pembagiannya tidak seimbang. Negatifitas oksigen lebih besar untuk mengikat pasangan electron, sehingga kerapatan electron pada oksigen lebih besar dari pada karbon. Karbon lebih brmuatan positif sedangkan oksigen lebih bermuatan negative. Umumnya aldehid berfase cair, kecuali fomaldehida yang berfase gas. Aldehid suku rendah mempunyai bau yang menyengat, sedangkan aldehid suku tinggi yang mempunyai bau yang enak digunakan untuk parfum dan aroma tambahan. Atom hydrogen pada molekul air dapat membentuk ikatan hydrogen dengan oksigen pada gugus karbonil sehingga kelarutan aldehid hamper sama dengan alcohol dan eter (Stanley, 1988 ).

III.1.2  Keton
Suatu keton mempunyai dua gugus alkil atau aril yang terikat pada karbon karbonil dengan rumus umum RCOR. Seperti halnya aldehid senyawa keton juga memiliki IUPAC dan nama umum. Secara IUPAC nama keton adalah turunan alkana yang akhiran ana diganti on.oleh karena tu disebut dengan alkanon. (Matsjeh, 1993)

III.2  Perbedaan dan Persamaan Aldehid dan Keton
Sifat-sifat fisik aldehid dan keton, karena aldehid dan keton tidak mengandung hydrogen yang terikat pada oksigen, maka tidak dapat terjadi ikatan hydrogen seperti pada alcohol. Sebaliknya aldehid dan keton adalah polar dan dapat membentuk gaya tarik menarik elektrostattik yang relative kuat antara molekulnya, bagian positif dari sebuah molekul akan tertarik pada bagian negative yang lain (Fessenden, 1997).
Aldehida dan keton merupakan kelompok senyawa organic yang mengandung gugus karbonil. Aldehid dikenal dengan rumus RCHO, sedangkan suatu keton mempunyai dua gugus alkil yang terikat pada karbon karbonil dengan rumus RCOR. Panjang ikatan C=O pada aldehid dan keton adalah 1,24 Å. Gugus karbonil bersifat polar karena oksigen lebih elektronegatif dibanding karbon sehingga electron lebih terikat ke oksigen. Polarisasi pada gugus karbonil menyebabkan banyak reaksi terhadap senyawa karbonil melibatkan serangan nukleofil pada atom karbon karbonil.
Kepolaran gugus karbonil menjadikan aldehid dan keton merupakan senyawa polar karena senyawa ini polar sehingga dapat melakukan tarik menarik dipol-dipol antar molekul yang menyebabkan titik didih aldehid dan keton lebih tinggi kira-kira 50o-80o daripada senyawa non polar yang mempunyai bobot molekul sama. Adanya electron menyendiri pada oksigen menyebabkan gugus karbonil dapat mengadakan ikatan hydrogen tetapi tidak dengan senyawa karbonil, kecuali jika senyawa ini mempunyai suatu hydrogen asam untuk ikatan hydrogen. Akibat kemampuan membentuk ikatan hydrogen, aldehid dan keton yang berbobot molekul rendah dapat larut dalam air seperti alcohol. Aldehid dan keton tidak dapat membentuk ikatan hydrogen dengan sesamanya menyebabkan titik didihnya lebih rendah dari alkohol padanya.
Aldehida dioksidasi menjadi asam karboksilat. Hampir semua reagensia yang mengoksidasi alcohol juga mengoksidasi aldehid. Pengoksidasi yang sering digunakan misalnya garam permanganat dan kromat, selain itu juga dapat digunakan pengoksidasi yang sangat lembut seperti Ag+ atau Cu2+. Keton tidak mudah dioksidasi, beberapa uji menggunakan sifat kemudahan oksidasi untuk membedakan aldehid dan keton.

III.3  Identifikasi Addehid dan Keton
Reaksi-reaksi pada aldehid dan keton adalah reaksi oksidasi dan reaksi reduksi. Reaksi oksidasi untuk membedakan aldehida dan keton. Aldehida mudah sekali dioksidasi, sedangkan keton tahan terhadap oksidator. Aldehida dapat dioksidasi dengan oksidator yang sangat lemah, sedangkan reaksi reduksi terbegi menjadi tiga bagian yaitu reaksi menjadi alcohol, reduksi menjadi hidrokarbon, dan reduksi pinakol (Wilbraham, 1992).
Untuk mendeteksi adanya aldehid dan keton adalah melalui analisis dengan beberapa uji misalnya dengan menggunakan uji tollens, dimana uji tollens adalah salah satu cara dimana ion kompleks perak ammonia mudah direduksi oleh aldehid menjadi logam perak. Jika tabung gelas yang digunakan untuk melakukan uji tersebut benar-benar bersih, maka perak mengendap pada permukaan sebagai cermin. Hal ini terkait pada percobaan yang dilakukan bahwa pada saat perak nitrat ditambahkan NaOH dan ammonium hidroksida terdapat endapan cermin perak, hal ini menunjukan bahwa adanya gugus karbonil dalam pereaksi tollen. Penambahan ammonia berlebih dihindari agar larutan tidak jenuh
Reaksi dengan pereaksi tollen mengubah ikatan C-H menjadi ikatan C-O. Aldehida dioksidasi menjadi asam karboksilat dengan jumlah atom karbon yang sama. Karena keton tidak mempunyai hydrogen yang menempel pada atom karbonil, keton tidak dapat dioksidasi dengan pereaksi-pereaksi ini. Aldehida demikian mudah dioksidasi, sehingga jika ia disimpan lama terdapat sedikit asam karboksilat sebagai hasil oksidasi udara. Keton dapat dioksidasi dengan keadaan reaksi yang lebih keras daripada aldehida. Ikatan antara karbon karbonil dan salah satu karbonnya putus, memberikan hasil-hasil oksidasi dengan jumlah atom karbon yang lebih sedikit daripada bahan keton asalnya.


BAB III
METODELOGI PENELITIAN
III.1  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at 13 Mei 2011 di Laboratorium Pengembangan Unit Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo Kendari.
III.2  Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Pipet volume 25 mL , Karet penghisap, Gelas kimia 100, 500 mL, Pipet tetes, Botol semprot, tabung reaksi, Batang pengaduk, Gelas ukur 10 mL
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu aniline sulfat, senyawa uji X1,2,3, Aquades, pereaksi tolens, asam sulfat , NaOH 10%, etanol 96%, perak nitrat 5%.

III.3  Prosedur Kerja
1.    Test aniline



-    ditambahkan masing-masing1 mL anilne sulfat
-    dikocok kuat-kuat

-    dipanaskan selama 1 menit
-    ditambahkan 5 tetes air



                                                                            positif adanya gugus karbonil

2.    Test Tollen




-    dikocok
-     dibiarkan selama 10 menit
-    dipanaskan selam 5 menit (jika tidak ada reaksi)
-    diulangi percobaan 3-5 kali



                                                                            positif adanya gugus aldehid




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1  HASIL
1.    Test aniline
No    Perlakuan    Hasil Pengamtan
1.


2


3    Tabung I [ 2 mL etanol 96% + 1 mL aniline  sulfate+ 2 tetes sampel 1 (X1) ]
Tabung II [ 2 mL etanol 96% + 1 mL aniline  sulfate+ 2 tetes sampel 2 (X2) ]
Tabung III [ 2 mL etanol 96% + 1 mL aniline  sulfate+ 2 tetes sampel 3 (X3) ]    Terbentuk endapan hitam yang banyak (+) mengandung gugus karbonil
Terbentuk endapan hitam sedikit (-) mengandung gugus karbonil

Terbentuk endapan hitam yang banyak (+) mengandung gugus karbonil


2.    Test Tollen
No    Perlakuan    Hasil Pengamtan
1.

2
    Tabung I [ pereaksi tollen 2 tetes sampel 1 (X1) ]
Tabung II [pereaksi tollen + 2 tetes sampel 2 (X3) ]    Terbentuk cermin perak (+) mengandung gugus karbonil aldehid
Tidak Terbentuk cermin perak (-) mengandung gugus karbonil aldehid namun (+) keton


IV.2  PEMBAHASAN
Aldehida dan keton merupakan kelompok senyawa organic yang mengandung gugus karbonil dengan rumus RCHO, sedangkan suatu keton mempunyai dua gugus alkil yang terikat pada karbon karbonil dengan rumus RCOR. Panjang ikatan C=O pada aldehid dan keton adalah 1,24 Å. Gugus karbonil bersifat polar karena oksigen lebih elektronegatif dibanding karbon sehingga electron lebih terikat ke oksigen. Polarisasi pada gugus karbonil menyebabkan banyak reaksi terhadap senyawa karbonil melibatkan serangan nukleofil pada atom karbon karbonil.
Kepolaran gugus karbonil menjadikan aldehid dan keton merupakan senyawa polar karena senyawa ini polar sehingga dapat melakukan tarik menarik dipol-dipol antar molekul yang menyebabkan titik didih aldehid dan keton lebih tinggi kira-kira 50o-80o daripada senyawa non polar yang mempunyai bobot molekul sama. Adanya electron menyendiri pada oksigen menyebabkan gugus karbonil dapat mengadakan ikatan hydrogen tetapi tidak dengan senyawa karbonil, kecuali jika senyawa ini mempunyai suatu hydrogen asam untuk ikatan hydrogen. Akibat kemampuan membentuk ikatan hydrogen, aldehid dan keton yang berbobot molekul rendah dapat larut dalam air seperti alcohol. Aldehid dan keton tidak dapat membentuk ikatan hydrogen dengan sesamanya menyebabkan titik didihnya lebih rendah dari alkohol padanya.
Aldehida dioksidasi menjadi asam karboksilat. Hampir semua reagensia yang mengoksidasi alcohol juga mengoksidasi aldehid. Pengoksidasi yang sering digunakan misalnya garam permanganat dan kromat, selain itu juga dapat digunakan pengoksidasi yang sangat lembut seperti Ag+ atau Cu2+. Keton tidak mudah dioksidasi, beberapa uji menggunakan sifat kemudahan oksidasi untuk membedakan aldehid dan keton.
Sedangkan uji aniline sulfat  pada percobaan ini digunakan untuk mengidentifikasi gugus karbonil yang dideteksi melalui cara pengendapan, dimana pada saat aniline sulfat ditambahkan dengan asam sulfat pekat dan beberapa tetes aquades terbentuk endapan hitam dengan kuantitas yang banyak. Hal ini menunjukan bahwa pada sampel yang diidentifikasi positif mengandung gugus karbonil. Penambahan aquades setetes demi setetes dilakukan agar air dapat terhidrolisis secara sempurna. Melalui proses hidrolisi tersebut dapat memastikan ada tidaknya gugus karbonil  pada sampel. Sampel yang memiliki gugus karbonil akan menunjukan banyaknya kuantitas endapan pada sampel, sedangkan sampel yang bukan gugus karbonil akan menunjukan perubahan warna larutan karena terbentuknya senyawa kompleks. Sehingga berdasarkan hasil pengamatan penyaringan endapan aniline, maka sampel yang positif mengandung gugus karbonil adalah sampel X1 dan X3.
Untuk mendeteksi adanya aldehid dan keton adalah melalui analisis dengan beberapa uji misalnya pada percobaan ini dengan menggunakan uji tollens. Uji tollens adalah salah satu cara dimana ion kompleks perak ammonia mudah direduksi oleh aldehid menjadi logam perak. Jika tabung gelas yang digunakan untuk melakukan uji tersebut benar-benar bersih, maka perak mengendap pada permukaan sebagai cermin. Hal ini terkait pada percobaan yang dilakukan bahwa pada saat perak nitrat ditambahkan NaOH dan ammonium hidroksida terdapat endapan cermin perak yang sedikit demi sedikit menghilang. Perak pada pereaksi tollen ini akan membantu menunjukan bahwa adanya gugus karbonil aldehid dalam sampel degan adanya endapan perak pada dinding tabung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam percobaan ini gugus aldehid positif terdapat pada sampel X1 sedangkan sampel X3 adalah senyawa keton. Pada pembuatan pereaksi tollen dalam percobaan ini, Penambahan ammonia berlebih dihindari agar larutan tidak jenuh  sehingga tollen dapat bereaksi dengan gugus karbonil aldehid sesuai dengan reaksi berikut:

 RCHO + 2Ag(NH3)2+ +2HO           2Ag + RCOO- + H2O + NH4+ + NH3
                          Cermin Perak
Reaksi dengan pereaksi tollen mengubah ikatan C-H menjadi ikatan C-O. Aldehida dioksidasi menjadi asam karboksilat dengan jumlah atom karbon yang sama. Karena keton tidak mempunyai hydrogen yang menempel pada atom karbonil, keton tidak dapat dioksidasi dengan pereaksi-pereaksi ini. Aldehida demikian mudah dioksidasi, sehingga jika ia disimpan lama maka aldehid akan sedit demi sedikit berubah menjadi asam karboksilat sebagai hasil oksidasi udara. Keton dapat dioksidasi dengan keadaan reaksi yang lebih keras daripada aldehida. Ikatan antara karbon karbonil dan salah satu karbonnya putus, memberikan hasil-hasil oksidasi dengan jumlah atom karbon yang lebih sedikit daripada bahan keton asalnya.
       


BAB V
PENUTUP
V.1  KEIMPULAN
    Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah Identifikasi senyawa aldehid dan keton pada uji aniline sulfat ditandai dengan terbentuknya endapan hitan dengan kuantitas yang relatif banyak yang menunjukan positif untuk gugus karbonilnya, sedangkan Test tollen dapat dilakukan dengan mengoksidasi senyawa aldehid dengan  peraksi tollen yang menghasilkan endapan perak. Sehingga sampel X1 dan X3 adalah senyawa yang memiliki gugus karbonil dengan X1 adalah senyawa bergugus aldehid.
V.2  SARAN
    Sebaiknya dalam praktikum selanjutnya digunakan 2,4 dinitrofenilhidrasin agar perubahan pembentukan warna dapat tertedeksi dan untuk pengujian sampel sebaiknya tidak hanya pada 3 sampel saja, namun diperbanyak menjadi 5 sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. Buku Ajar Kimia Organik. Universitas Haluoleo. Kendari.

Fessenden, Ralph. J., 1997. Kimia Organik Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Matsjeh, sabirin. 1993. Kimia Organik Dasar 1. Depdikbud. Jakarta

Petrucci, Ralph. 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Moderen Jilid 3. Erlangga. Jakarta.

Pine, Stanley H., 1988. Kimia Organik I. ITB. Bandung.

Suminar, Hart. 1983. Kimia Organik Suatu Kulia Singkat. Erlangga. Jakarta.

Wilbraham, Antonik, 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. ITB. Bandung.

Tugas setelah praktikum
1.    Penambahan aquades setetes demi setetes dilakukan agar air dapat terhidrolisis secara sempurna.
2.    Larutan amoniak ditambahkan sedikit demi sedikit pada pembuatan pereaksi tollen agar tidak berlebih bertujuan agar larutan tidak jenuh sehingga pereaksi tolens dapat bereaksi kembali dengan aldehid yang membentuk cermin perak.
3.    Sampel yang termaksud senyawa keton adalah X3 karena pada uji gugus karbonil senyawa ini menunjukan positif memiliki gugus karbonil namun tidak menunjukan positif mengandung aldehid karena tidak ada endapan perak pada penambahan pereaksi tollen.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1  Latar Belakang
Pemanfaatan pelarut dalam banyak penelitian menuntut ketersediaan pelarut-pelarut tersebut dalam jumlah yang besar. Perkembangan riset-riset ilmiah yang banyak berkembang di Dunia tentang pemanfaatan bahan alam menjadi produk yang memiliki daya pakai yang lebih dari produk aslinya menjadikan konsumsi dunia terhadap pelarut-pelarut selain air semakin meningkat. Khususnya pelarut organik yang banyak digunakan dalam sintesis dan uji kandungan kimia dari sampel.
Indonesia sebagai negara yang dikenal oleh dunia dengan keanekaragaman hayati memiliki banyak potensi untuk dilakukan sintesis bahan alamnya menjadi produk yang berdaya saing internasional. Penghasilan produk bahan ini tentu saja tidak memmerlukan waktu dan material yang sedikit. Diperlukan serangkaian cara untuk mengelolah hasil-hasil ini. Sehingga dalam pengelolahan ini, akan dibutuhkan senyawa organik baik dalam jumlah besar ataupun kecil.
Etil asetat atau etil etanoat merupakan salah satu pelerut organik yang keterpakaiannya dalam penelitian bahan alam sangat besar. Etil asetat merupakan pelarut polar menengah yang volatile (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat sering digunakan sebagai pelarut karena etil asetat dapat menyari senyawa-senyawa yang dapat memberikan aktivitas antibakteri diantaranya flavonoid pilohidroksi dan fenol yang lain. Telah diujikan bahwa ekstrak etil asetat daun ceremai mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus dan mempunyai aktivitas antijamur terhadap C. albicans dengan zona hambatan 20 mm2, 15 mm2 dan 18 mm2 (Mulyati : 2009). Karena keterpakaian etil asetat sebagai pelarut oragik yang baik, maka perlu dialakukan praktikum “Pembuatan Etil Asetat”.
I.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dirumuskan masalah bagaimana cara pembuatan etil asetat.
I.3  Tujuan Percobaan
Tujuan utama dari praktikum ini adalah membuat etil asetat.
    Manfaat Praktikum
Hasil praktikum ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi mengenai pembuatan  etil asetat dan sebagai rujukan dan pembanding pada praktikum selanjutnya.

BAB III
KAJIAN TEORI
III.1  Deskripsi  Senyawa Pembentuk Etil Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati (Anonin, 2009).


III.2  Deskripsi Umum Senyawa Etil Asetat (Etil Etanoat)
III.2.1 Defenisi dan Sifat-Sifat Etil Setat
Etil etanoat                   merupakan senyawa organik berwujud cair, tidak berwarna dan titik didih 770C, indeks bias 1,372, berbau wangi (aroma), mudah menguap. Etil asetat dibuat melalui reaksi esterifikasi senyawa asam asetat dengan methanol pada asam dan dipanaskan (Abraham, 2007 ). Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatile (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil  asetat merupakan  penerima ikatan  hidrogen yang  lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam.
III.2.2 Manfaat
Dalam kehidupan sehari-hari etil asetat berfungsi sebagai aroma makanan (essence) dan pelarut senyawa organik. Etil asetat sering digunakan sebagai pelarut karena etil asetat dapat menyari senyawa-senyawa yang dapat memberikan aktivitas antibakteri diantaranya flavonoid pilohidroksi dan fenol yang lain. Telah diujikan bahwa ekstrak etil asetat daun ceremai mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus dan mempunyai aktivitas antijamur terhadap C. albicans dengan zona hambatan 20 mm2, 15 mm2 dan 18 mm2 (Mulyati : 2009)

III.3  Pembuatan Etil Asetat (Etil Etanoat)
Ester dapat dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dengan alkohol menggunakan katalis asam (HCl atau H2SO4). Biasanya reaksi berjalan dengan disertai pemanasan.
Pembuatan ester dengan cara demikian disebut esterifikasi Fischer. Persamaan umumnya dituliskan :

Reaksi tersebut merupakan reaksi kesetimbangan.
Untuk mendapatkan hasil yang banyak dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol atau asam berlebihan. Hasil ester yang banyak bisa juga diperoleh dengan cara memisahkan ester yang banyak terbentuk agar kesetimbangan bergeser ke kanan (Matsjeh, 1993 : 358).
Suatu ester asam karboksilat adalah suatu senyawa yang mengandung gugus –CO2R dengan R dapat terbentuk alkil maupun aril. Suatu ester dapat dibuat dengan mereaksikan langsung antara asam karboksilat dan dan suatu alkohol, suatu reaksi yang disebut reaksi esterifikasi. Esterifikasi berkataliskan asam dan merupakan reaksi yang reversibel.
[


Reaksi umum :



Reaksi khusus :




Laju esterifikasi suatu asam karboksilat bergantung terutama pada kalangan sterik dalam alkohol dan asam karboksilatnya. Kesetimbangan dari asam karboksilat hanya memainkan peranan kecil dalam laju pembentukan ester. Seperti banyaknya reaksi aldehida dan keton, esterifikasi suatu asam karboksilat bergantung melalui serangkaian tahap protonasi dan deptrotonasi. Oksigen karbonil diprotonasi, alkohol nukleofilik menyerang karbon positif dan eliminasi air akan menghasilkan ester yang dimaksud (Fessenden, 1982 : 82-83).
Esterifikasi asam karboksilat dengan suatu alkohol merupakan reaksi reversible. Jika asam karboksilat diesterkan digunakan alkohol berlebih, untuk membuat reaksi kebalikan yakni hidrolisis berkatalis asam atau ester menjadi asam karboksilat digunakan air berlebih. Kelebihan air akan menggeser kesetimbangan ke arah sisi asam karboksilat.
Jika asam karboksilat dan alkohol dengan katalis asam (biasanya HCl dan H2SO4) dipanaskan, terdapat kesetimbangan dengan ester dan air.




Proses ini dinamakan esterifikasi Fischer, yaitu berdasarkan nama Emis Fischer, kimiawan organik abad ke-19 yang mengembangkan metode ini. Walaupun reaksi ini adalah reaksi kesetimbangan, dapat juga dipanaskan untuk membuat ester dengan hasil yang tinggi dengan menggeser kesetimbangan ke kanan. Hal ini dapat dicapai dengan beberapa teknik. Jika harga alkohol atau asam murah dapat digunakan jumlah berlebihan. Cara lain ialah dengan memisahkan ester dan/atau air yang terbentuk (dengan penyulingan) sehingga menggeser reaksi ke kanan (Hart, 1987).
Untuk melindungi gugus karboksilat sering dilakukan dengan perubahan gugus karboksilat menjadi ester. Reaksi asam karboksilat dengan alkohol akan menghasilkan ester. Metil atau etil ester yang paling banyak digunakan karena mereka stabil pada kondisi reaksi oksidasi yang biasa digunakan dalam reaksi senyawa organik. Ester dapat bereaksi dengan litium dan magnesium organometalik tetapi stabil terhadap Zn dan Cu organometalik. Deproteksi ester dapat dilakukan dengan hidrolisis dalam suasana asam.




(Anwar, 1994).

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
III.1  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at 15 April 2011 di Laboratorium Pengembangan Unit Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo Kendari.
III.2  Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu 1 set alat destilasi, 1 set alat refluks, Pipet volume 25 mL , Karet penghisap, Gelas kimia 100, 250 mL, Corong, Corong pisah, Pipet tetes, Botol semprot, Erlenmeyer 250 mL, Termometer, Batang pengaduk, Gelas ukur 50 mL
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Etanol 96%, Asam asetat, Asam sulfat pekat (H2SO4), Larutan natrium karbonat 30% (Na2CO3), Larutan Calium  klorida, Padatan Calium  klorida , Aquades

III.3  Prosedur Kerja

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1  Hasil Pengamatan
Data hasil pengamatan
No.    Perlakuan    Pengamatan
1.

2.

3.

4.
5.
6.    50 mL etanol + 50 mL CH3COOH + H2SO4 pekat 10 mL, direfluks
Larutan didinginkan, didestilasi

Destilat dimasukan dalam corong pisah +
Na2CO3 30 % 10 mL, dikocok
Lapisan atas + CaCl3 30% diekstraksi
Lapisan atas + CaCl3 1 gram, disaring
Larutan hasil didestilasi    Larutan homogeny
Larutan berwarna bening
Destilat keluar pada suhu 600C , volume 2/3 Volume awal
Terbentuk 2 lapisan

Terbentuk 2 lapisan
Larutan bening volume 30 mL
Larutan bening, Volume etil asetat = 25 mL

    Perhitungan
Diketahui :    volume awal  sampel = 110 mL
                       Volume akhir  = 25 mL
Penyelesaian :
Rendemen =  (volume destilat)/(volume sampel)  x 100%
                   = 22,72%  
IV.2  Pembahasan
Etil etanoat                  merupakan senyawa organik berwujud cair, tidak berwarna dan titik didih 770C. Etil etanoat/etil asetat dibuat melalui rekasi esterifikasi senyawa asam asetat dengan alkohol pada suasana asam dan dipanaskan.
Pada percobaan pembuatan etil etanoat ini, mula-mula gugus karbonil asam asetat diprotonasi oleh katalis asam (gugus H+). Dimana pada percobaan ini di gunakan H2SO4  pekat sebagai katalis. Tampak bahwa penambahan katalis dilakukan secara perlahan-lahan sambil didinginkan dan dikocok. Penambahan perlahan-lahan asam ini bertujuan agar campuran cepat homogen dan untuk menghindari terjadinya degradasi campuran beraksi (asam asetat dengan etanol), kemudian juga bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya H2SO4 menguap), mengingat bahwa sifat reaksi H2SO4 yang eksoterm.

Proses protonasi sangat dibutuhkan dalam reaksi ini, karena dapat menaikan muatan positif pada atom karbon karbonil. Karena tanpa adanya H+, oksigen yang terikat pada C karbonil memiliki keelektornegatifan yang besar sehingga adanya efek imbas indeks dapat menyebabkan C karbonil berkurang keelektronegatifannya karena O akan cenderung memberikan elektoronegatifan. Akan tetapi dengan adanya prtonasi pada oksigen karbonil menyebabkan oksigen lebih cenderung memberikan elektron pada H+ sehingga muatan positif dari karbon karbonil meningkat dan menyebabkan keadaan yang baik penyerangan nukleofilik. Dimana yang bertindak sebagai gugus nukleofilik di sini adalah gugus OH dari etanol. Gugus OH merupakan gugus masuk yang baik sehingga akan menyerang karbon karbonil pada asam asetat yang telah terprotonasi.







Pada tahap ini terjadi adisi nukloefilik, yakni gugus OH (pada etanol) kemudian terjadi ikatan C-O yang baru atau ikatan ester baru. Setelah adisi nukleofilik maka reaksi dilanjutkan dengan deprotonasi/penghilangan gugus H+ pada ikatan ekster yang baru. Deprotonasi ini dilakukan dengan tujuan untuk membentuk ikatan C-O yang stabil.







Karena digunakan katalis asam dari reaksi akan terbentuk kembali H+. hal ini memberikan peluang untuk terjadinya protonasi. Protonasi ini sangat di butuhkan karena melihat bahwa OH pada gugus asam asetat merupakan gugus pergi yang jelek karna OH memiliki keelektonegatifan sehingga kemampuan untuk terikat pada C yang parsial (+) sangat besar (karena adanya perbedaan momen dipol menyebabkan OH enggan pergi). Untuk itu dibutuhkan protonasi hingga terbentuk +OH2 yang merupakan gugus pergi yang baik.







Pada tahap akhir dari reaksi ini adalah lepasnya air dan putusnya ikatan C-O. akan tetapi karena reaksi ini merupakan kesetimbangan maka air yang dilepaskan akan menyerang kembali gugus karbonil yang terprotonasi. Ester yang dihasilkan (yang berprotonasi) akan melepaskan protonnya dan membentuk etil asetat/etil etanoat sebagai produk akhir.






Reaksi di atas merupakan reaksi reversibel atau reaksi kesetimbangan. Sehingga untuk mendapatkan produk yang besar maka kesetimbangan harus digeser ke kanan, dengan menambahkan alkohol berlebihan (Hart, 1987). Akan tetapi, ada efek dari penambahan alkohol berlebih karena reaksi akan mengalami trans-esterifikasi yakni akan menghasilkan hasil samping selain produk induk.
Hal yan sama juga terjadi pada pembuatan etil etanoat karena kita menggunakan alkohol berlebih maka kemungkinan untuk bereaksi dengan katalis asam sangat besar. Akibatnya, etanol akan bereaksi dengan katalis asam sangat besar. Akibatnya, etanol akan bereaksi dengan H2SO4 (sebagai katalis) membentuk hasil samping berupa dietil eter.
Pada pembuatan etil asetat ini, campuran (etanol + asam asetat + H2SO4) terlebih dahulu direfluks. Refluks ini adalah proses penambahan panas pada suatu larutan sehingga dapat meningkatkan energi aktivitas. Proses refluks ini bertujuan menghomogenkan larutan. Selain itu refluks juga berfungsi untuk memutuskan ikatan rangkap dari karbon karbonil dengan oksigen (C–O) sehingga akan memudahkan gugus OH (sebagai Nu-) untuk menyerang karbon karbonil. Dengan kata lain produk etil asetat yang diinginkan dapat diperoleh dalam jumlah besar. Setelah direfluks maka dilanjutkan dengan destilasi hingga diperoleh 2/3 dari volume sebelumnya. Proses destilasi ini bertujuan memisahkan etil etanoat (etil asetat) dengan air atau dengan kata lain untuk mendapatkan etil asetat murni. Karena produk lain dari reaksi esterifikasi adalah H2O yang dapat dipisahkan dengan destilat karena antara air dan etil asetat memiliki perbedaan titik didih (air : 1000C sedangkan etil asetat : 770C). Sehingga destilat (memiliki titik didih rendah akan keluar terlebih dahulu) adalah etil etanoat (etil asetat).
Destilat, kemudian ditambahkan natrium karbonat 30% (Na2CO3). Penambahan ini dimaksudkan untuk mengekstraksi asam sisa dalam larutan etil asetat karena Na2CO3 memiliki kemampuan untuk mengekstrak asam sisa menghasilkan garam natrium yang larut dalam air. Dari hasil percobaan terlihat bahwa garam natrium yang larut dalam air ini berada pada lapisan bawah sedangkan senyawa-senyawa organik berada pada lapisan atas. Pembentukan 2 lapisan ini disebabkan oleh adanya perbedaan massa jenis, dimana garam natrium yang larut dalam air memiliki massa jenis yang lebih besar daripada senyawa organik yang terbentuk. Selain itu, kepolaran juga sangat mempengaruhi terjadinya pemisahan lapisan ini, dimana garam natrium dalam air ini bersifat polar sedangkan senyawa-senyawa organik yang dihasilkan (etil asetat dan dietil eter) bersifat non polar. Berdasarkan sifat kelarutannya, senyawa polar tidak akan larut dalam pelarut non polar dan begitu pula sebaliknya, pelarut polar tidak dapat melarutkan senyawa non polar.
Perlakuan selanjutnya adalah penambahan larutan kalsium klorida (CaCl2) ke dalam larutan yang diperoleh. Penambahan larutan ini bertujuan agar ion Ca2+ dapat menarik ion-ion karbonat yang ditambahkan sebelumnya, sehingga membentuk garam CaCl2 dan CaCO3, yang juga dapat dengan mudah dipisahkan dengan produk yang diinginkan karena CaCl2 dan CaCO3 membentuk endapan yang berada di dasar wadah karena memiliki massa jenis yang lebih besar dari produk yang diinginkan. Kemudian setelah lapisan atas dipisahkan, maka ditambahkan kalsium klorida anhidrous. Penambahan ini bertujuan agar ion-ion karbonat yang masih ada dalam larutan dapat ditarik oleh adanya ion Ca2+. Sehingga diharapkan dengan penambahan CaCl2 anhidrous dapat diperoleh larutan yang benar-benar murni. Setelah penambahan kalsium klorida anhidrous maka dilanjutkan dengan penutupan larutan. Hal ini dilakukan agar larutan yang kita peroleh tidak banyak menguap, mengingat bahwa sifat dari etil asetat adalah mudah menguap. Sedangkan untuk perlakuan, dimana larutan didiamkan dengan tujuan agar mempercepat terbentuknya endapan CaCl2.
Kemudian dilakukan pemisahan, filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dalam labu destilasi untuk dilakukan proses destilasi. Menurut Matsjeh (1993), destilasi merupakan suatu metode pemisahan sifat fisik senyawa organik yang mudah menguap. Pada dasarnya, pemisahan dengan destilasi ini adalah memanfaatkan perbedaan titik dalam suatu campuran senyawa. Untuk itu, dalam percobaan ini proses destilasi digunakan untuk memisahkan dietil eter (sebagai hasil samping) dengan etil asetat yang diinginkan, berdasarkan perbedaan titik didih kedua senyawa tersebut. Karena titik didih dietil eter lebih kecil yakni 350C – 400C sedangkan titik didih etil asetat adalah 740C – 770C, sehingga yang keluar sebagai destilat yang ditampung sebagai produk yang diinginkan ditampung pada suhu 740C – 770C, yakni destilat etil asetat (etil etanoat). Pada percobaan ini, destilat yang diperoleh setelah pemanasan mencapai suhu 640C adalah sebanyak 25 mL dari 110 mL volume larutan sampel. Sehingga diperoleh rendemen sebesar 22,73 %. Rendemen ini diperoleh dengan membandingkan volume destilat dengan volume sampel.




BAB V
PENUTUP
V.1  Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan dalam praktikum ini maka dapat ditarik kesimpulan Etil asetat dapat dibuat dengan mereaksikan asam asetat dengan etanol pada suasana asam dan dipanaskan, dengan reaksi sebagai berikut :



Reaksi yang terjadi pada pembuatan etil asetat ini yaitu reaksi esterifikasi. Pada suhu 35 – 400C diperoleh hasil samping berupa etil eter dan pada suhu 74 – 770C diperoleh produk berupa etil asetat (etil etanoat) dengan menggunakan destilasi. Rendemen etil asetat yang diperoleh sebesar 22,72 %.
V.2 SARAN
Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya, praktikan lebih memperhatikan suhu saat perefluksan dan saat destilasi serta menutup larutan setelah pecampuran untuk menghindari kemungkinan menguapnya zat-zat campuran yang volatil.